Selasa, 07 Juni 2011

SAKIT ITU PENTING

Oleh : Dudung Koswara

Tulisan ini penulis buat pada sa’at sakit kurang lebih seminggu lamanya di awal Juni 2011. Kondisi badan yang sakit atau tidak sehat memang mengganggu aktifitas bahkan tak dapat beraktifitas. Sebuah kondisi yang paling “mengenaskan” bagi kita sebagai manusia yang selalu membutuhkan kesehatan. Dalam istilah populer Mensana in corpore sano (a healthy mind in a healthy body), sebuah ungkapan yang menjelaskan betapa kesehatan jasmani akan berkontribusi positif pada kesehatan jiwa. Jiwa-jiwa yang sehat dari jasmani yang sehatlah yang diharapkan bangsa ini untuk membangun sebuah peradaban yang maju. Masyarakat yang sakit akan menenggelamkan bangsa ini dari percaturan duni global yang semakin kompetitif. Jiwa dan badan yang sehat tak dapat ditawar.

Nabi Muhammad pernah bersabda, “Barangsiapa yg di pagi hari sehat badannya tenang jiwanya dan dia mempunyai makanan di hari itu maka seolah-olah dunia ini dikaruniakan kepadanya” . Tidak ada yang membantah betapa kesehatan menjadi sebuah kebutuhan semua umat manusia dimuka bumi. Secara ekstrim kesehatan jauh dari kematian tapi sakit mendekati kematian, tidak ada manusia yang ingin mati seperti tidak ada manusia yang ingin sakit. Lebih berarti lagi sebuah kesehatan bila kita menengok teman kita yang terkapar sakit di rumah sakit, bahkan banyak pasien lain yang sama menderita sakit. Banyaknya orang sakit di ruang-ruang rumah sakit seolah memberikan pesan pada kita, “Jagalah kesehatanmu bila kamu tak ingin seperti mereka”.

Bila kita bertanya pada orang-orang disekitar kita , siapa yang mau sakit? Maka tidak aka ada yang mau menjawab, kecuali disekitar kita itu ada orang gila. Lain halnya bila pertanyaannya diganti dengan, siapa yang ingin sehat selalu? Maka semua orang waras akan menjawab, ingin. Sehat yes! Sakit No! Pola hidup sehat dan masyarakat yang sehat adalah dambaan kita semua.

Sakit Itu Penting Bagi Kita
Semua manusia dimuka bumi tidak ada yang menginginkan sakit. Tapi hampir semua manusia dimuka bumi pernah sakit. Realitas ini kalau kita pelajari menjadi unik dan menarik. Ada pesan sehat dibalik kondisi sakit. Benarkah? Benar sekali. Hanya malaikat dan syeitan yang tidak pernah sakit. Makanya malaikat dan syeitan tidak memerlukan dokter dan rumah sakit. Bahkan sebaliknya dokterlah yang membutuhkan malaikat sebagai dewa penolong.

Sakit sebenarnya adalah sebuah ujian paling hebat yang dialami manusia, ketahanan fisik dan psikis benar-benar dipertaruhkan. Kekuatan rohani yang baik serta kedekatan dengan Tuhan akan meminimalisir frustasi sakit. Orang yang ketahanan jiwanya rapuh serta keber-Tuhanannya bermasalah dapat dipastikan sakit yang dialaminya akan menjadi sebuah double musibah. Tidak heran ada yang sakit karena tiak sabar akhirnya bunuh diri. Sebuah solusi yang ekstrim dalam merespon rasa sakit yang tak kunjung sembuh. Contohnya adalah seorang warga RT 04 RW II Desa Jadi, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, Tarso (54) nekat mengakhiri hidupnya secara tragis, bunuh diri dengan menggantung di seutas tali tambang akibat sakit asma dan paru-paru kronis yang tak kunjung sembuh. Sakit bagi Tarso telah menghancurkan ketahanan jiwanya yang paling dasar. Inikah yang yang harus dilakukan Sisakit? Oh, jangan sekali-kali meniru “adegan” Tarso.

Jujur saja penulis tak menghendaki sakit, tapi kehidupan menghendaki sakit. Sikap bijak kita sebagai hamba Tuhan yang akan dan selalu sakit_dari mulai tidak enak badan sampai sakit parah_ adalah penting berpikir sehat diwaktu sakit. Hanya berpikir sehat dan dialog dengan Tuhan pada saat kita sakit yang mampu memberikan nilai tambah. Sakit tak bisa ditolak, tapi kemampuan mencari makna dibalik sakit yang kita alami harus tetap digali. Ada pesan istimewa dalam sakit yang kita alami, sehingga sakit menjadi sesuatu yang “penting” bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Kondisi sakit dapat mem-Pesantren-kan bathin kita agar lebih memahami kehidupan yang sebenarnya. Ya Tuhan betapa lebih nikmatnya hidup sehat ketika kita sakit. Ya Tuhan betapa kita dapat merasakan perasaan orang lain yang sedang sakit. Ya Tuhan betapa kita harus menjaga kesehatan tubuh kita sebagai rasa syukur akan nikmat-Mu. Ya Tuhan betapa sombongnya manusia pada saat ia sehat.Betapa sehat itu menjadi sebuah realitas yang sangat-sangat penting ketika kita sakit. Disinilah letak “pentingnya sakit”, yakni mampu memaknai dan mengintrosfeksi diri jauh lebih kedalam akan kebermaknaan hidup sehat. Hanya dengan sehat yang kita maknai ketika kita sakit eksistensi kita dan eksistensi Tuhan menjadi harmoni. Harmonitas hamba dan Tuhan adalah sebuah suasana kebathinan yang baik bagi kepribadian seseorang.

Sakit Penting Bagi Koruptor
Berbeda halnya dengan kita yang memaknai sisi lain dari pengalaman sakit kita, ada beberapa individu yang mencari untung dibalik sakit. Kebiasaan mencari untung individu ini sampai merambah pada “dunia sakit” , mereka adalah musuh masyarakat kita, yakni para koruptor. Hebatnya koruptor ini pada saat menggasak uang rakyat mereka sehat dan mampu “memanggul” milyaran bahkan trilyunan uang rakyat, tapi pada saat diperiksa mereka seperti tak bisa jalan dan tak bisa bicara. Bahkan ada yang mau menjadikan dirinya amnesia, sebuah upaya yang menganggap betapa”pentingnya” sakit bagi mereka. Setiap mau diperiksa pasti mereka mendadak sakit, dan tak dapat dipinta keterangan.

Betapa pentingnya sakit sebagi tempat yang nyaman bagi para koruptor untuk berlindung dari pemeriksaan. Ada seorang mantan jenderal polisi penegak hukum yang rela menyebutkan bahwa istrinya mengalami gangguan ingatan, sebuah pembelaan yang norak dan dapat diduga tendensinya. Jenderal dan berpendidikan ternyata tidak menjadi jaminan dalam kesadaran penegakan hukum di Indonesia. Lebih norak lagi para kroni mantan Pesiden Soeharto telah mengkondisikan Soeharto lebih sakit lagi agar terhindar dari tuntutan hukum dan tuntutan rakyat Indonesia.

Bila kita data para koruptor yang mengangap betapa pentinnya sakit sebagai perlindungan dari pemeriksaan, jumlahnya terlalu banyak sebanyak pelaku yang membudaya di negeri ini.Pura-pura terbaring di rumah sakit mewah dan bisa berkumpul bersam keluarga, adalah kondisi yang lebih baik daripada meringkuk di Hotel Prodeo. Ini hal wajar yang telah dilakukan para koruptor untuk menyelamatkan dirinya, karena semua manusia pada dasarnya punya insting untuk menyelamatkan diri. Sayangnya bentuk penyelamatan diri dengan pura-pura sakit adalah satu bentuk yang tak wajar dan kurang ajar. Kenapa kurang ajar? Karena telah menyinggung perasaan orang lain yang benar-benar sakit. Orang lain sakit, tetapi koruptor telah mempermainkan sakit sebagai komoditas politik untuk menghindari jeratan hukum. Orang lain terkapar sakit dengan beban biaya yang belum tentu terbayar, sementara koruptor pura-pura terkapar padahal ia tertawa dan melecehkan dunia medis dan hukum.

Bagi Oknum Dokter Sakit Itu Penting
Dalam ilmu kedokteran yang menjungjung tinggi kemanusiaan, ada saja oknum dokter yang memanfaatkan orang sakit sebagai tambang emas. Sebenarnya bila dokter memahami makna filosofi Sumpah Hipokratus, ia akan berorientasi kemanusiaan dalam kerjanya. Tapi oknum dokter mengangap betapa pentingnya sakit, sebagai sebuah objek profit yang menjamin masa depannya. Penulis pernah memiliki pengalaman mengantar seorang teman yang jarinya hampir putus tergilas mesin es krim. Pengalaman ini terjadi di RSUD Cibabat, Cimahi tahun 1996an. Pada saat kami datang sang dokter tidak langsung menolong malah berbicara biaya orprasi yang harus disediakan, saat itu ia menyebutkan Rp. 1.5 juta. Kami dalam keadaan panik tidak banyak berpikir uang tapi bagaimana menolong korban agar segera di tangani.

Bagi penulis oknum dokter seperti diatas telah menjadikan sakit/orang sakit sebagi hal yang penting dalam hidupnya. Semakin banyak yang sakit, apalagi dari golongan ekonomi tinggi (the have), akan memberikan jaminan profit yang besar bagi dirinya. Sebuah alasan yang tidak manusiawi bila ingin sejahtera dari “menggigit” orang sakit. Kalau para lulusan SMA zaman sekarang mau kuliah di kedokteran dengan alasan ingin jadi orang kaya dan terhormat secara strata, maka sebenarnya ini adalah kesalahn awal yang akan menciptakan korban masyarakat. Menjadi dokter karena ingin kaya adalah satu bentuk dari praktek homo homini lupus, dokter telah menjadi srigala bagi pasiennya sebagai kambing yang tak berdaya.

Jurusan kedokteran adalah jurusan paling favorit di negeri ini, dan peminatnya adalah mayoritas keluarga kaya yang mampu membiayai kuliah yang cukup mahal. Bila motivasi mereka menjadi dokter untuk menjadi orang kaya seperti diatas maka, kondisi inilah yang akan melahirkan oknum dokter-dokter gila, yang mengangap masyarakat sakit/ pasien sebagai tambang emas. Praktek dibeberapa rumah sakit untuk tujuan mencari profit adalah indikasi kuat dari kesimpulan diatas.

Bagi Orang Gila Sakit Itu Menyenangkan
Penulis pernah membaca buku Dale Carneggie tentang dilema seorang dokter yang mau menyembuhkan orang gila. Ia berpikir bila pasiennya sembuh, ia akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya, yakni tidak semenyenangkan ketika ia gila. Dalam khayalannya orang gila bisa menikmati dan melakukan apapun, tertawa-tawa sendiri, bicara sendiri, memerankan apa yang dia inginkan. Keadaan papa dan menderita di dunia nyata tak dapat ia terima maka ia stres dan mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwanya telah melepaskan penderitaannya dan ia sepertinya happy di dunia barunya.

Blia kita melihat orang-orang gila yang kita jumpai , ada orang gila yang gila karena harta, di kegilaannya dia benar-benar menjadi orang berharta. Ada orang gila karena pangkat “mungkin” dikegilaannya dia mencapai kekuasaan yang diinginkannya. Ada orang gila karena tidak mendapatkan kebahagiaan berumah tangga dan anak yang diimpikannya di kegilaannya justru semua itu menjadi lengkap dalam genggamannya sebagai istri dan seorang ibu. Singkatnya “mungkin” orang-orang gila di dunianya itu sebenarnya lebih bahagia dari kita. Bila gila lebih bahagia maka kesimpulan bagi orang gila, sakit (gila) adalah penting dan menyenangkan bagi hidupnya.

Sakit Penting Bagi Pegila Cinta
Ternyata urusan romantika becinta telah menjadikan sakit sebagai media mencuri perhatian orang yang paling disayangi. Sakit telah menjadi hal penting untuk menaklukan orang yang dicintai. Orang yang tidak memiliki perhatian pada yang sakit dianggapnya_meminjam istilah gaul dangdut_ terlalu. Tidak ada orang yang mau dianggap terlalu atau tak berperikemanusiaan/tak berempati pada orang sakit. Apalagi bila yang sakit adalah orang istimewa yang diangap pacar, suami, istri atau TTM.

Banyak hal untuk mencuri pehatian pasangan atau kekasih, tapi dari sekian trik yang dapat digunakan ternyata pura-pura sakit, atau sakit beneran telah menjadi alternatif yang jitu. Empati orang lain dan teman akan mengalir pada seseorang yang sakit, sepertinya ada sedikit kenyamanan ketika banyak orang berkunjung dan memberikan bantuan moril dan spiritual. Dan yang paling istimewa bagi orang yang sedang jatuh cinta adalah dikala sakit selalu ditemani pacar. Bagi pegila cinta sakit menjadi penting untuk menguji kesetiaan orang yang paling kita cintai ketika kita sakit.

Oleh-oleh yang dibawa, obat-obatan dan hal lain bagi yang sakit menjadi sebuah “kado” perhatian bagi yang sakit. Bagi pegila cinta_cinta yang lebay_ hal ini menjadi kenangan tersendri untuk selalu dikenang. Ada benarnya juga sejauhmana perhatian orang yang kita sayangi pada saat kita sakit dapat menjadi indikasi seajuh mana perasaanya pada kita. Ada ungkapan teman yang baik bukan yang hadir pada saat kita jaya dan kaya, tetapi teman yang baik adalah seseorang yang selalu hadir pada saat kita sakit atau terpuruk. Sakit adalah penting bagi si pegila cinta untuk test case kesetiaan pasangan dalam berempati dan mencurahkan kasih sayangnya pada saat sakit.

Kesimpulan

Bagi orang dewasa dan memiliki jiwa yang hidup maka sakit adalah sebuah fenomena alamiah yang akan dialami oleh semua manusia. Fenomena ini harus ditangkap pesannya agar ada sebuah makna dan pengalaman berharga yang akan menjadi “ongkos” untuk hidup lebih baik dikemudian hari, pasca sembuh. Bijak pada diri sendiri, mengenal Tuhan, mengenal orang lain lebih empatis, berjiwa besar, dan selalu mencari makna pada setiap pengalaman adan apa yang terjadi. Karena hakekatnya segala hal yang telah kita alami itu “penting”, senang aupun duka, semuanya adalah lembaran kisah abadi kita yang berpengaruh pada kepribadian dan eksistensi kita. Dihadapan Tuhan dan dihadapa manusia.

Bagi manusia gila beneran sakit menjadi penting masih mendingan, dibanding dengan gila jejadian, oknum dokter, koruptor, pegila cinta dan yang lainnya yang menganggap sakit sebagai media untuk mencari keuntungan subjektif adalah berbahaya. Kondisi ini telah melahirkan tatanan yang absurditas dan menyimpang dari seharusnya. Mungkin inilah yang disebut romantisme dalam istilah Harun Yahya, lebay dan melakukan sesuatu berdasarkan perasaan yang sakit.

Jadi koruptor, oknum dokter, pegila cinta dll., pada dasarnya mereka telah mengindap gangguan jiwa posmodernis, sebuah penyakit baru diera hedonis yang materialis. Hati-hati bila anda sebagai pelajar, mahasiswa, pekerja jangan sampai membuat Surat Sakit Palsu. Surat sakit palsu yang anda buat telah menggiring anda pada paradigma sesat “Pentingnya Sakit” untu melindungi diri dari kesalahn yang anda buat. Sakit harus membuat anda lebih baik dan memahami arti hidup yang sebenarnya, bukan memanipulasi hidup dan merugikan diri sendiri serta orang lain. Wallahualam bissawab

Minggu, 01 Mei 2011

JANGAN PERCAYAKAN PENDIDIKAN PADA SEKOLAH


Oleh : Dudung Koswara
Praktisi, pengamat pendidikan


“Jangan percaya pada guru, guru memiliki kemampuan yang terbatas serta terlalu banyak siswa yang dididiknya, nama anak kita saja belum tentu ia tau apalagi hal lainnya, kitalah yang harus selalu mendampingi dan mengarahkannya, siswa bukan anak guru tapi anak kita.” Ungapan ini masih penulis ingat sampai sekarang ketika dua orang ibu rumah tangga berdialog di trotoar super market Ramayana Sukabumi, Desember tahun 2009. Sebuah dialog yang menarik tentang peranan orang tua dalam mendidik anak. Dua ibu rumah tangga ini menyimpulkan bahwa dunia pendidikan tidak berperan banyak dalam menentukan masa depan anaknya, yang paling penting dalam menentukan masa depan anak adalah polarisasi orang tua dan pendidikan keluarga yang baik.
Pemikiran yang kritis dan solutif kedua orang tua ini mengambil porsi dominan pada peranan orang tua dalam mendidik anaknya, dengan tidak mengandalkan pada institusi formal. Kedua orang tua ini identik dengan sitiran Robert Kiyosaki yang mengatakan bahwa ada banyak hal penting yang tak diajarkan di sekolah. Dalam sistem pendidikan skolastik, melakukan kesalahan adalah sesuatu yang buruk. Padahal, melakukan kesalahan adalah juga sebuah cara untuk mematangkan diri dan bagian dari proses belajar yang sangat urgen.

Penulis sebagai praktisi pendidikan berpikir seandainya semua orang tua memiliki tanggung-jawab sebesar itu, dunia pendidikan formal (satuan pendidikan) akan lebih mudah dalam mendidik siswanya, karena ada langkah proaktif dari orang tua. Menyimak pembicaraan dua ibu rumah tangga diatas penulis ingat sindiran kritis Robert Kiyosaki yang menjelaskan bahwa siswa masuk sekolah bukan dididik oleh gurunya tetapi dididik oleh teman-temannya. Ada benarnya bahwa siswa / peserta didik lebih memahami apa yang disampaikan teman-teman sebayanya dibanding apa yang disampaikan oleh gurunya. Teman-temannya lebih dapat “mendidik” seorang siswa dalam artian mampu memberikan pengaruh yang lebih kuat. Masalahnya adalah sejauh mana pendidikan teman sebaya bergerak pada arah yang positif dibanding gurunya yang sudah berpengalam walau berbeda usia?

Kedekatan usia dan kedekatan emosi akan berpengaruh terhadap komunikasi dan interaksi, sehingga “transfer of knowledge” dari rekan peserta didik akan lebih mudah ditangkap. Peranan guru dalam mendidik siswanya berbenturan dengan jumlah siswa, kelelahan, kesibukan, keluarga, karier dan kadar profesionalitasnya. Ada “jarak” yang tak disengaja antara guru dan siswa didiknya, inilah yang membuat pengajaran dan pendidikan berjalan agak formalistik. Masalah ini di minimalisir dengan proses pembentukan kelompok belajar, agar peserta didik dapat share denga rekan sebayanya. Membuat kelompok belajar (learning community) diantara mereka yang di fasilitasi oleh guru merupakan solusi “memanfaatkan” kedekatan peserta didik dengan peserta didik yang lain. Teman sebaya dalam kamus sosiologi memiliki peranan yang tidak sedikit dalam perkembangan kepribadan seorang remaja pelajar.

Sekolah Hanya 7 Jam, di Rumah 17 Jam
Terlalu mengandalkan sekolah dalam mendidik anak dan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling bertangung-jawab dalam mendidik anak adalah sebuah paradigma yang keliru. Anggapan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mampu merubah setiap anak menjadi lebih berbudi pekerti dan lebih pintar tidaklah bijaksana, mengingat intensitas waktu lamanya anak sebagai peserta didik di satuan pendidikan berbeda dengan lamanya anak sebagai warga rumah di institusi informal keluarga. Nabi Muhammad menjelaskan mau dijadikan Nasani, Yahudi dan Majusi seorang anak tergantung kedua orang tua sebagai pemilik “kurikulum” pendidikan keluarga. Tidak ada pepatah yang mengatakan anak mau dijadikan apapun tergantung gurunya di sekolah.

Hanya 7 jam peserta didik di sekolah dan 17 jam ada di rumah, maka orang tua alangkah bijaknya bila mengevaluasi setiap hari anaknya mengingat banyanya waktu yang tersedia di area keluarga. Rumah adalah base cam tetap dan sekolah adalah tempat sementara hanya sementara sebatas menimba ilmu pengetahuan(education transit). Dunia sekolah yang hanya 7 jam itu lebih banyak pada pengasahan kognitif yang berbau pelajaran, hal yang berhubungan dengan pendidikan dalam artian budi pekerti posisinya minor dan terbatas. Pakar pendidikan Prof. Dr. Arif Rahman menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia lebih banyak menekankan pada pengajaran, bukan pada pendidikan.Satuan pendidikan lebih memiliki porsi intelektual dibanding pendidikannya, maka ujung dari proses pembelajarn selama tiga tahun diakhiri dengan diberikannya sebuah buku raport dan selembar izajah.

Sekolah Bukan Tempat Penitipan Anak.
Orang tua yang sibuk dan abai terhadap kepentingan pendidikan anak terkadang menganggap sekolah sebagi tempat penitipan anak , daripada anak ada diluar sekolah akan lebih merisaukan mereka. Kadang orang tua mengatakan , “Silahkan anak saya mau diapakan juga terserah sekolah, saya sebagai orang tua sudah putus harapan, dan akan mengikuti apa saja keinginan sekolah.” Orang tua semacam ini menganggap sekolah sebagai “karantina” peserta didik yang akan mengamankan anaknya dari pergaulan dan suasana luar sekolah yang tak dapat dipertanggung-jawaban. Orang tua akan lebih tenang dan dapat mengkomplain sekolah bila ada sesuatu yang terjadi dengan anaknya, pada saat anaknya berada dalam lingkungan sekolah atau keluar dari lingkungan sekolah. Sebagian orang tua yang kurang paham dengan peranan sekolah menganggap sekolah bertanggung-jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan anaknya. Hal ini menjadi beban bagi sekolah sebagai lembaga formal yang harus melayani kemauan orang tua peserta didik denga segala keterbatasan wawasannya.

Kesibukan bekerja dan keterbatasan pengetahuan orang tua dalam memahami peranan dan tanggung-jawab mendidik anaknya , menjadikan sekolah ketiban tanggung-jawab yang lebih berat dari seharusnya (oper load). Tidak sedikit orang tua yang menyalahkan sekolah ketika terjadi sesuatu dengan anaknya, padahal sebenarnya sesuatu yang terjadi itu sangat berkaitan dengan peranannya sebagai orang tua. Pendapat Agung Piniji sekolah berubah menjadi TPA (Tempat Penitipan Anak) bahkan segalanya diserahkan pada sekolah, attitude dan pendidikan (education) orang tua menentukan bagaimana ia memperlakukan anak.

Keluarga pendidikan pertama dan utama.
Setiap anak lahir tidak di ruang sekolah dan tidak tidur di sekolah, rumah dan keluargalah tempat setiap anak lahir dan dibesarkan. Dari rumah dan keluargalah sebuah generasi “dicetak” menjadi manusia yang ungul, keluarga menjadi area pendidikan pertama dan utama. Dalam ajaran Kong fu tse ditekankan tentang pentingnya peranan orang tua dalam mendidik anak, pentingya kesantunan anak pada orang tua, pentingnya keharmonisan dalam keluarga serta pentingnya kesetiaan pasangan suami istri. Kondisi keluarga yang memiliki komitmen dan kedisiplinan yang baik pada budi pekerti dan keteladanan akan melahirkan generasi yang unggul. Pesan Sherri Linsenbach __Penulis The Everything Home schooling Book__ mengatakan Anda tidak harus menjadi guru profesional ketika Anda ingin menyekolahkan putera-puteri Anda di rumah. Anak-anak adalah pembelajar alamiah, sementara Anda sendiri, sebagai orang tua, adalah guru-guru alamiah.” Linsenbach memberikan dorongan pada orang tua untuk percaya diri dalam mendidika anak di lingkungan rumah.

Pendidikan keluarga jauh lebih dulu__buhun kata orang Sunda__ dibanding pendidikan formal, orang tua zaman dulu mengutamakan pendidikan keluarga sebagai pendidikan terpenting. Pendidikan keluarga memungkinkan penggalian potensi anak secara maksimal, merujuk Undang-undang no 23 tahun 2003 pendidikan keluarga masuk pada kategori pendidikan informal yang dilaksanakan keluarga dan lingkungan. Seorang anak yang dididik dilingkungan keluarga dapat memiliki ijazah dengan mendaftarkan diri di PKBM dan mengikti ujian persamaan.Menurut DR Seto Mulyadi (Kak Seto), orang tua zaman sekarang sudah mengabaikan pentingnya pendidikan keluarga, orang-orang hebat sekaliber Agus Salim, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara adalah produk dari pendidikan keluarga yang baik. Ungkapan pakar pendidikan nasional ini tidak sebatas seruan dan teori, Kak Seto mendidik dua anakanya dalam pendidikan keluarga (home schooling) bahkan ia mengarang buku pendidikan keluarga dalam sampulnya ia menuliskan, “Buku Panduan Praktis dan Siap Pakai: Home Schooling Keluarga Kak Seto – Mudah, Murah, Meriah dan Direstui Pemerintah“.

Jangan Mengandalkan Guru
Tidak terlalu menganggap guru sebagai sosok yang paling bertanggung-jawab dalam mendidik dan mencerdaskan anak/peserta didik merupakan sikap antisipatif dalam merespon kepentingan masa depan anak. Guru adalah fasilitator formal dalam mendidik dan membimbing peserta didik dalam waktu yang terbatas dan area yang terbatas pula. Keterbatasan seoran guru dalam mendidik siswanya sebaiknya difahami setiap orang tua sebagai pemakai jasa guru dalam dunia pendidikan formal. Bila semua orang tua memahami keterbatasn guru sebagai tenaga pendidik maka setiap orang tua peserta didik akan melakukan langkah-langkah antisipatif dalam mendidik anaknya. Guru adalah intsruktur pendidikan, sementara orang tua adalah sutradara utama dalam memberikan skenaro unggul bagi anaknya.

Tidak mengandalkan guru dalam pendidikan anak bukanlah sebuah kesalahan tapi sebuah kepahaman dalam memahami tugas orang tua sebagai “pemilik” anak yang akan menentukan kemana dan jadi apa anaknya kemudian. Orang tua yang apatis dan tidak paham dengan pendidikan dan bagaimana mengarahkan anaknya, biasanya terlalu mengandalkan seorang guru di sekolah, sebuah kesalahan yang dapat berakibat jangka panjang. Mendidik anak yang memiliki karakter ada pada keluarga. Pater Drost menjelaskan orang tua tidak seharusnya melepaskan perannya sebagai pendidik yang utama. Dalam sehari, anak berada disekolah dalam beberapa jam saja. Selanjutnya dia kembali ke rumah dan di didik kembali oleh orang tuaya. Di sini sekolah tidak seharusnya mengambil alih peran orang tua sebagai pendidik (karena sebenarnya sekolah juga tidak akan mampu untuk tugas berat itu mengingat terbatasnya waktu), tetapi hanya berperan sebagai pembantu orang tua di dalam mengajar anak-anak mereka. Drost selanjutnya mengatakan sekolah adalah tempat untuk mengajar dan juga untuk mendidik, tetapi pendidikan bukanlah merupakan tugas utama sekolah maupun guru. Pendidikan sebenarnya merupakan tanggung jawab orang tua dan keluarga.

Anak Titipan Tuhan, Bukan Tanggung Jawab Sekolah.
Ajaran agama memberikan tangung-jawab pada setiap orang tua bahwa anak adalah titipan Tuhan, segalanya akan dipertanggung-jawabkan dihadapan_Nya. Anak adalah “anugerah terindah” dalam sebuah keluarga, anak adalah spirit dan keajaiban dalam rumah tangga. Kesakralan dan berharganya seorang anak memberikan konsekuensi serius pada semua orang tua untuk mendidiknya secara utuh dan bijaksana. Disini sepertinya ada lingkaran tanggung-jawab yang semakin berat pada orang tua dibanding sekolah. Guru bertangung-jawab pada orang tuanya selama disekolah, orang tua bertanggung-jawab pada Tuhan selama ia belum dewasa.Ini adalah lingkaran peran antara sekolah dan orang tua peserta didik. Anak didik pada hakekatnya adalah milik Tuhan yang tanggung-jawab terberatnya ada pada orang tuanya, guru di sekolah hanya sebatas tugas formal sebagai aparatur negara yang bergerak pada area pendidikan. Sementara orang tua memiliki “SK” dari Tuhan sebagai penanggung-jawab utama.

Semua guru adalah orang tua paedagogis bukan orang tua biologis bagi siswanya, maka siswa adalah titipan dari orang tua biologis yang ada di luar sekolah. Guru di sekolah dengan segala kemampuanya akan melayani peserta didik sebagai titipan orang tua pengguna jasa pendidikan. Tugas sekolah dan guru sebagai lembaga formal dapat dipertanggung-jawabkan umumnya hanya sebatas kenaikan, kelulsan , raport dan ijazah. Peserta didik adalah titipan orang tua yang akan dikembalikan setelah sekian tahun belajar dan menyelesaikan tugasnya. Ketika anak / peserta didik sudah lulus dan diwisuda di satuan pendidikannya, maka secara formal selesailah tugas sekolah dan guru. Dikembalikanlah anak sebagai titipan orang tua ketika sudah lulus, atau bahkan ketika anak tidak mampu mengikuti semua pembelajaran / aturan sekolah.

Anak Mutiara Yang Ditinggalkan Disekolah
Pada zaman sekarang ada sebagian orang tua yang menganggap anak sebagai “asesoris” keluarga, pemanis, pelengkap dan ada yang menjualnya. Perlakuan tidak bijaksana dan kurang manusiawai pada anak secara tidak langsung banyak terjadi pada orang tua zaman sekarang, contoh kasus trafficking yang pernah heboh di negara kita adalah karena edukasi keluarga yang abai. Mengekspoiltasi anak dalam pekerjaan, serta kasus kekerasan pada anak banyak terjadi di negeri kita. Contoh lain anak-anak usia sekolah di Cigondewa – Bandung lebih memilih mencari nafkah daripada sekolah. Tidak sedikit data tentang perlakuan tidak manusiawi pada anak. Dalam strata ekonomi / sosial yang baik perlakuan menyimpang pada anak adalah memanjakan, segala di fasilitasi tetapi komunikasi dan edukasi keluarga diabaikan, keluarga semacam inilah yang menganggap sekolah sebagai solusi “ menitipkan” anaknya yang tidak sempat dididik dikeluarga.

Menurut penulis sebenarnya anak adalah “mutiara” dalam sebuah keluarga tidak dapat ditukar dan diperlakukan seenaknya. Dalam sinetron “Keluarga Cemara” dikumanadangkan sebuah lagu yang syairnya berbunyi…… harta yang paling berharga adalah keluarga….mutiara tiada tara adalah keluarga…dst.Bila kita maknai syair lagu ini memiliki banyak makna tentang berharganya keluarga, dan didalamnya ada yang jauh lebih berharga yakni anak. Sayang zaman sekarang banyak orang tua yang abai pada anaknya dan lebih mengejar karier, jabatan, harta, perusahaan, uang bahkan wanita. Anak yang diabaikan oleh orang tua menurut penulis adalah mutiara yang ditinggalkan. Lagi-lagi sekolah dianggap sebagai area yang layak untuk dipercaya, dititipi, diberi tanggung-jawab untuk mendidik anak-anak mereka yang “ditinggalkan.” Sekolah telah mendapatkan “limbah” pendidikan keluarga.

Alternatif Mendidik Anak
Bila kita meniru bangsa Cina maka ada pola pendidikan “superior”, munculnya buku ‘Battle Hymn of the Tiger Mother‘ karangan Amy Chua, seorang profesor sekolah hukum dari Yale Law School, merepresentasikan pendidikan Cina yang disiplin. Tulisan ini menceritakan bagaimana ibu-ibu di China atau keturunan China dengan didikan kerasnya mampu membuat anaknya berhasil. Anak-anak dilarang main game dan nonton TV, menginap di rumah teman, harus mendapat nilai A, harus les biola atau piano. Mendidik dengan disiplin dan kontrol orangtua yang besar menurut Amy juga dilakukan orangtua keturunan Korea, India, Jamaika, Irlandia dan Ghana.

Sebagian besar ibu keturunan China mengatakan bahwa mereka percaya anak-anaknya dapat menjadi siswa ‘yang terbaik’ karena ‘prestasi akademik mencerminkan orangtua yang sukses mendidik’ dan ‘jika anak-anak tidak unggul di sekolah itu artinya ada masalah pada orangtua kenapa anak tidak mengerjakan tugasnya’. Orang tua China menghabiskan 10 kali lebih lama waktunya untuk terlibat dan memantau aktivitas akademik anak-anaknya. Amy juga mengatakan ketika orangtua China menerapkan disiplin dan pola didik yang terkontrol, anak-anak China juga akan menolak. Namun kuncinya, kesabaran orangtua untuk mendampingi anak karena memang akan sulit dijalani di masa-masa awal.

Orangtua China bisa melakukan seperti itu karena tradisi China men-stigma anak-anak berutang ke orangtuanya yang telah berkorban banyak sehingga mereka harus membayarnya dengan prestasi dan kebanggaan serta rasa hormat kepada orangtua. orangtua China percaya bahwa cara terbaik untuk melindungi anak-anak mereka adalah dengan mempersiapkan masa depan mereka, membekali anak dengan keterampilan, kebiasaan kerja yang tekun dan disiplin, dan keyakinan batin yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya.

Bila kita meniru Barat/Amerika yang lebih liberal salah satu penelitian terhadap 50 ibu di Amerika hampir 70 persen ibu-ibu barat mengatakan bahwa ‘menekankan keberhasilan akademis tidak baik untuk anak-anak’ karena yang terpenting ‘orang tua perlu mendorong ide bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan’ Tipikal orangtua Barat yang cenderung menyerah pada kemauan anak ketika anak menolak, anak-anak Barat lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan dan tim olahraga ketimbang prestasi akademik.

Orangtua Barat hanya meminta anaknya mencoba melakukan yang terbaik. Mereka akan berhati-hati untuk tidak membuat anak mereka merasa tidak mampu dan tidak akan pernah memanggil anaknya dengan sebutan ‘bodoh’, ‘tidak berguna’ atau ‘memalukan’.Orang tua di Barat tidak berpikir anak mesi membalas utang budi kebaikan rang tua. Anak-anak tidak memilih orang tuanya dan bahkan mereka tidak memilih untuk dilahirkan sehingga anak-anak tidak berutang apa-apa. Tugas mereka adalah membuat anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Orangtua Barat mencoba untuk menghormati individua anak-anaknya, mendorong mereka untuk mengejar keinginan mereka, mendukung pilihan mereka, dan memberikan dukungan dan lingkungan yang positif.

Bila kita meniru orang Yahudi, ada Tesis Dr. Stephen Carr Leon yang berjudul “Why the Jews so smart” yang memakan waktu hampir delapan tahun, dapat menjadi komparasi pendidikan kita pada anak. Bagaimana orang Yahudi mendidik anaknya? Apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa Tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri? Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Mari para orang tua untuk mengkaji narasi tesis Leon.

Pertama. Dimulai dari persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suaminya, ini dilakukan Ibu Yahudi untuk anak yang masih di kandungan, melatih otaknya, berharap kelak ia menjadi jenius, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Kedua cara makan, sejak awal mengandung sang ibu suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan. Menurut wanita Yahudi , daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandung kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak didalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung, menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.Mereka gemar sekali memakan ikan (hanya fillet-nya), biasanya kalau sudah ada ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada bersama di satu meja. Menurut keluarga Yahudi, campuran daging dan ikan tak bagus dimakan bersama. Salad dan kacang, harus ada dimeja makan, terutama kacang badam.

Mereka akan makan buah buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika anda diundang ke rumah Yahudi anda akan dihidangkan buah buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan karbohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk. Akibatnya lemah dan susah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Ketiga di Israel, merokok adalah tabu (Indonesia?), apabila Anda diundang makan dirumah Yahudi, jangan sekali kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka, menyuruh anda merokok di luar rumah mereka. Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak (bodoh).

Keempat mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah-buahan bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil lever). Anak Yahudi rata rata mereka memahami tiga bahasa, Hebrew, Arab dan Inggris. Sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not musik dapat meningkatkan IQ. Menurut ilmuwan Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak. Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.
Kelima. Bidang pendidikan, saat di sekolah dasar anak anak Yahudi, sudah diajarkan matematika berbasis perniagaan, juga pelajaran IPA sangat diutamakan. Segala pelajaran akan dengan mudah di tangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran utama, pelajaran ekstrakurikuler seperti olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak dan berlari. Memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Disamping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Murid-murid disana dilatih secara intensif dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk dengan serius. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu. Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi. Mereka belajar ekonomi. Diakhir tahun di universitas Israel, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek bisnis. Mereka harus memperaktekkanya, dan akan lulus jika kelompok anda (10 mahasiswa setiap kelompok) dapat keuntungan sebanyak $US 1 juta! juga jangan heran kalau universitas-universitas di Amerika terutama jurusan bisnis, banyak orang Yahudi-nya.
Belajar dari Jepang, Jepang adalah bangsa yang terkenal dengan kedisiplinan dan kegesitannya, ternyata menurut Prof Dr Daoed Jusuf adalah peran “Kyoiku Mama”. Peran seoran ibu di Jepang sangat menentukan peradaban bangsa Jepang. Jadi pendidikan bangsa Jepang keberhasilannya karena pendidikan keluarga yakni peran Kyoiku Mama/ibu dalam mendidik anaknya. Kesuksesan Bangsa Jepan adalah jasa dari pendidikan ibu-ibu dalam keluarga Jepang. Ketika Daoed Jusuf bertanya pada seorang Guru di Jepang tentang kedisiplinan dan ketaatan pelajarnya , mereka menjawab itu semua berkat pendidikan ibu-ibu mereka dirumahnya.

Falsafah ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) dipegang teguh di Jepang. Kulturnya menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan “a purely Japanese phenomenon”.

Menurut penulis alangkah bijaknya bila semua orang tua lebih memperhatikan anaknya dalam belajar daripada memperhatikan, HPnya, Motornya, Mobilnya dan hal lain yang tidak berhubungan dengan masa depannya. Kasih sayang, kedisiplinan, keteladanan, pengetahuan, dan keberanian mesti ditanamkan sejak dini. Usia emas anak (golden age) harus dimanfaatkan oleh semua orang tua alam menanamkan pendidikan yang maksimal. Menurut Psikolog Anak, Desni Yuniarni, masa "golden age" otak anak berkembang sangat cepat sehingga informasi apapun akan diserap, tanpa melihat baik atau buruk. Selanjutnya Desni menganjurkan "Yang penting kita sebagai orangtua harus menunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak suka meniru orang-orang terdekatnya.” Anak adalah peniru ulung, segala hal yang didengar, dilihat, dan ditemukan dalam kehidupannya akan berpengaru terhadap tingkah-lakunya.

Sekolah itu perlu untuk anak didik tapi belajar lebih penting dari sekolah, maka peranan orang tiua dalam keluarga mendidik dan mengajarkan kehidupan adalah proses belajar yang lebih berarti daripada sekolah formal. Belajar apalagi ketika sekolah-sekolah kita makin tereduksi hanya menjadi lembaga pengajaran dan meninggalkan label lembaga pendidikan. Yang terjadi di sana adalah transfer pengetahuan dan bukan transfer keilmuan. Alfred Noble, Einstein, Soekarno, adalah juga sederet akademisi yang banyak menuai hasil keilmuannya. Thomas A. Edison, Bill Gates, Michael Dell, Ted Turner, juga sederet orang yang dengan penuh nyali menyambar sukses dan keluar dari sistem skolastik untuk menjadi otodidak. Kita dapat belajar dari beberapa tokoh yang lahir dari dunia autodidiak dan dunia akademik.

Pada dasarnya menurut Marjohan, M.Pd. anak mau dibawa kemana terseah orang tua, karena orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang brguna bagi nusa, bangsa dan agama”.

Sepemikiran dengan Marjohan tentang petingnya peranan orang tua,Emmi Khairani menjelaskan bahwa bila negeri ini ingin mempunyai generasi pemimpin berkualitas yakni, negarawan-negarawan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, keamanan, dan kemuliaan rakyatnya, bahkan negarawan-negarawan yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mulia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia di masa datang, maka para ibu di negeri ini harus difungsikan peran utamanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kalau penulis boleh tambahkan(HR.At-Tirmidzy). “Tidak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik” Sebuah pesan yang jauh hari sebelumnya menekannka pentingnya peranan pendidikan keluarga. Mengandalkan sekolah formal untuk mendidik anak adalah tidak bijaksana, mengingat segala kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai jalan keluar mungkin kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi.
Dari berbagai sumber.

Kamis, 28 April 2011

MEREFLEKSI UJIAN NASIONAL


Oleh : Dudung Koswara
(Praktisi, pengamat pendidikan Kota Sukabumi)


Hajat nasional untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahuan (knowledge) selama menjadi peserta didik di satuan pendidikan berlalu sudah. Berlalunya Ujian Nasional bukan berarti berlalunya wacana tentang perjalanan dan prosesnya, menyisakan banyak hal yang perlu kita kritisi bersama. Ujian Nasional (selanjutnya UN) sejak pertama di gulirkan menjadi diskursus hangat di masyarakat kita, baik dari kalangan pendidik maupun non pendidikan. Wajar dan pasti UN menjadi perhatian bersama karena selain melibatkan peserta didik se-Indonesia juga menggunakan anggaran negara yang sangat besar. Anggaran Ujian Nasional tingkat SMA sederajat tahun 2010/2011 menelan Rp. 580 miliar. Dana sebesar itu bukan hanya untuk kertas ujian, namun untuk mencetak soal, biaya pengawas, koreksi dan lainnya.Dengan anggaran ini, setiap anak dibiayai Rp. 50 ribu. Untuk UN Jawa Barat saja menelan biaya sebesar 54 milyar, sebuah anggaran yang fantastis. Wajar bila UN menjadi wacana bersama karena melibatkan hampir semua orang tua, peserta didik, dan anggaran negara (anggaran milik rakyat).

Beberapa tahun penulis mengapresiasi perjalanan UN sampai saat ini penomenanya masih terus diwacanakan dalam realitas kolektif yang beraneka pendapat. Respon peserta didik, tenaga pendidik, pengamat pendidikan, masyarakat, DPR, MA dan pemerintah sebagai empunya “hajat” masing-masing memiliki argumentasi yang diangapnya paling benar. Membicarakan UN selalu hangat dan ada beberapa kepentingan yang melatar belakanginya, kepentingan idealis realistis dari masing-masing pihak terkait mengemuka dan UN tetap saja berjalan, bermetamorfosis.

Metamorfosis Ujian Nasional
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, perkembangan ujian nasional tersebut, yaitu:
Periode 1965-1971. Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Periode 1972-1979. Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di mana setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum.
Periode 1980-2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “paralel” untuk setiap mata pelajaran, dan penggandaan soal dilakukan di daerah.

Periode 2001-2004
Sejak tahun 2001, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Dalam EBTANAS, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai EBTANAS murni (R), sedangkan kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.

Periode 2005-2010
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.

Periode 2011
Kelulusan UN tahun sebelumnya ditentukan dari nilai UN sendiri, sedangkan kelulusan UN 2011 ditentukan dari nilai gabungan antara nilai rata-rata raport (NR), nilai ujian sekolah (NUS) dan nilai ujian nasional (NUN) dengan ketentuan sebagai berikut :NS = (0,4 x NR) + (0,6 x NUS) , NA = (0,4 x NS) + (0,6 x NUN)Siswa dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol). UN 2011 memperhatikan nilai sekolah sebesar 40%, 60% nilai UN, dengan lima paket soal.

Beberapa perubahan yang terjadi berhubungan dengan uji kemampuan peserta didik merupakan ikhtiar pemerintah dengan segala keterbatasannya dalam merespon perkembangan kemajuan dunia pendidikan . Tantangan global dan potensi nasional SDM harus terus di-up garade dalam orientasi iklim kompetitif dunia, pemerintah menyadari bahwa entitas pendidikanlah yang menjadi penentu. Setiap langkah atau kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah akan dievaluasi dan diuji kebermanfaatannya, termasuk masyarakat secara alamiah akan merespon setiap aplikasi kebijakan pemerintah. Respon masyarakat pengguna pendidikan akan menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya.

Masa Depan Karena Kebijakan Hari Ini
Sebuah kesalahan yang telah dilakukan oleh umat manusia tidak selamanya berdampak langsung atau segera , terkadang dampaknya tertunda dan “meledak” pada masa yang akan datang yakni 20-30 tahun kemudian. Penomena yang paling kita rasakan ketika euphoria reformasi begitu dahsyat pada tahun 2008 menjelang jatuhnya regim Presiden Soeharto. Dahsyatnya energi reformasi tidak muncul instan karena tewasnya beberapa mahasiswa, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap masyarakat pada puluhan tahun sebelumnya menjadi energi yang melatar belakanginnya. Kematian empat mahasiswa hanyalah triger bagi euporia reformasi, selanjutnya berbagai peristiwa yang melekat kuat pada memori kolektif bangsa ini menjadi mesiu besar yang dinyalakan oleh empat mahasiswa pahlawan reformasi.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, rasa nasionalisme dan segala perjuangan yang melibatkan organisasi, baru terbentuk melalui proses yang sangat panjang, Bung Karno menyebutnya 350 tahun Kolonialisme Belanda telah membangunkan “banteng ketatonnya” bangsa Indonesia. Penderitaan panjang dan eksploitasi kemanusiaan mengkristal pada jiwa Bangsa Indonesia menjadi sebuah reaksi kolektif dari Sabang sampai Merauke. Prinsip merdeka atau mati adalah sebuah ungkapan dari emosi bersama dalam merespon kolonialisme, perlawanan adalah reaksi final dari akumulasi penderitaan bertahun-tahun.

Jadi sebuah peristiwa dalam konsep logika sejarah disebabkan oleh peristiwa sebelumnya atau kausalitas sejarah.Sikap bijak bangsa kita harus dieksplorasi demi keberlangsungan NKRI yang kita cintai, karena segala hal yang tidak baik pada hari ini akan berdampak panjang pada masa yang akan datang. Bangsa Indonesia dalam hal ini pemerintah __sebagai birokrasi pelayan masyarakat__ harus menjadi sutradara bijak dalam meng-guide masyarkat untuk lebih maju, mandiri, dinamis, pembelajar, adaptip dan kompetitif dalam menghadapi tantangan zaman.

Dalam esai singkat ini penulis mencoba menanggapi penomena yang sedang terjadi beberapa tahun belakangan ini pada area pendidikan di Indonesia. Sebuah iklim pro kontra yang tidak sehat bertahun-tahun penulis amati terjadi di entitas pendidikan kita baik di tataran makro, meso dan mikro. Iklim pendidikan sedang diuji, terutama berhubungan dengan Ujian Nasional yang terus kontroversial. Ujian Nasional (selanjutnya UN) telah menjadi diskursus sosial dan wacana politik yang tidak sederhana, mengapa demikan karena UN adalah sebuah “ritual” pendidikan yang melibatkan peserta didik dan hampir semua orang tua di negeri ini. Walaupun UN tahun 2011 ada hal baru dari Mendiknas tentang kelulusan yang 40% “melihat” proses di sekolah yakni hasil raport, tapi tetap saja hal ini tak menenggelamkan perhatian masyarakat pada program pemerintah yang dianggapnya tidak populis dan melanggar HAM.

Dua Realitas Yang Berbeda
Apa yang terjadi kemudian dari kebijakan UN oleh pemerintah telah menciptakan dua kutub yang bersebrangan, antara pemerintah dan masyarakat. Terjadi bias dalam masyarakat sehingga kepentingan ideal versi pemerintah menyimpang dari sasarannya. Bagaimana pemerintah begitu yakin tidak ada kebocoran dan manipulasi dalam UN sementara masyarakat mengatakan ada. Ketika Mendiknas Muhammad Nuh mengatakan jangan percaya pada SMS yang menyebarkan kunci jawaban UN karena bisa merugikan, bahkan Gubernur Jawa Brat Ahmad Heryawan mengatakan bohong kalau UN bocor. “UN sudah ada mekanismenya, tidak mungkin bocor," katanya saat meninjau pelaksanaan UN di SMPN 7 Bandung (Pikiran Rakyat, 25 April 2011). Berbeda dengan masyarakat yang mempercayai UN bocor dan SMS yang berkembang memiliki akurasi lebih dari 80%.

UN tahun sebelumnya menurut Koordinator Investigasi Komite Independen Pemantau Ujian Nasional di Jawa Barat Dan Satriyana, untuk mata pelajaran Matematika, Georgrafi, Ekonomi, dan Bahasa Inggris, kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa akurasinya lebih dari 80 persen. Peredaran bocoran jawaban itu selain bentuk nyata kecurangan, juga merugikan siswa lain. Ketika para pejabat pemerintah (birokrat) terkait mengatakan tidak ada rekayasa dan manipulasi dalam UN, sementara banyak masyarakat secara tersembunyi mengetahui adanya manipulasi UN.

Hermanto Rohman (Radar Sukabumi , 20 April 2011) memplesetkan UN menjadi Ujian Nasib (siswa/sekolah), secara gamblang ia menjelaskan tentang tujuan idealis pemerintah dan realitas pragmatis dilapangan, berbanding terbalik dan ada “improvisasi”. Rohman menjelaskan pemerintah tidak bijak memaksakan terus keputusan UN kalau dalam masyarakat terjadi bias makna.Sebuah kondisi yang berbeda antara idealitas pemerintah (diatas) dan realitas masyarakat (dibawah), hal ini memperlihatkan bias yang melebar. Pengurus Besar (PB) PGRI Abduhzen bahwa beberapa pembaruan sistem pelaksanaan UN tingkat SMA tahun ini berpotensi meningkatkan kenakalan sekolah. Menurut analisis dia, pihak sekolah akan mengerjakan lima variasi soal tersebut. Selanjutnya, soal itu di berikan kepada lima siswa yang sudah disiapkan di setiap kelas. Kemudian, lima siswa tersebut menyebarkan kunci jawaban kepada siswa yang satu kode (soalnya sama). Analisis Abduhzen memprediksi biasnya UN dilapangan, sebuah kenyataan yang perlu kita sikapi.

Dua realitas berbeda tersaji dalam area pendidikan kita, versi birokrat (pemerintah) dan versi masyarakat, manakah sebenarnya yang menjadi kebenaran sejati (the real reality). Shadow reality ( realitas yang samar) yang berkembang di masyarakat menginformasikan banyak yang “terlibat” dalam UN dari tahun ke tahun, sejauh mana pemerintah daerah, dinas pendidikan, tim pengawas , satuan pendidikan, kepolisian dan pihak-pihak terkait lainnya bekerja dilapangan, hanya mereka yang mengerti. Faktanya dilapangan terjadi kebocoran kunci jawaban UN, diantaranya kawasan Banda Aceh dan pulau Jawa (Radar Sukabumi, 25 April 2011).

Menanggapi pengaduan kebocoran soal UN , Mendiknas Muhammad Nuh (Media Indonesia, 23 April 2011) mengatakan “ Tim BNSP langsung menyesuaikan temuan dilapangan dengan master soal yang ada, namun setelah disesuaikan ternyata kunci jawaban yang ditemukan itu tidak benar”. Pernyataan ini sangat berbeda dengan Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang diketuai oleh Abdi Muskarya mengungkapkan ada puluhan sekolah baik swasta dan juga negeri yang melakukan pelanggaran, semua datanya ada pada mereka serta tidak mau mempublikasikannya (Tribun Medan, 21 April 2011). Alasan Abdi Muskarya ketua KAMG tidak mau melaporkannya adalah realitas yang terjadi karena korban sistem. Kepala daerah dan kepala sekolah yang curang menurutnya tidak salah, yang salah adalah sistemnya.

Pernyataan Mendiknas Muhammad Nuh tentang tidak ada kebocoran UN gugur sudah karena Kabupaten Pohunto,Provinsi Gorontalo seluruh sekolah harus mengikuti ujian ulang pada tangal 28 April 2011 karena terjadi kebocoran di Sembilan SMA yang ada (Radar Sukabumi, 26 April 2011). Lebih parah lagi enam joki dan Kepala Sekolah SMA PGRI Kedewan, Bojonegoro ditangkap polisi dihari ketiga UN (Suara Pembaruan,28 April 2011). Peristiwa ini memeperlihatkan apa yang dikatakan masyarakat bahwa UN kenyataannya sangat rawan ketidakjujuran, berbanding terbalik dengan pernyataan-pernyataan versi pemerintah. Dapat diprediksi bagaimana UN tahun sebelumnya? Karena pada tahun-tahun sebelumnya UN 100% menentukan kelulusan, sekarang hanya 60%. Logikanya pada UN tahun ini kelulusan akan jauh lebih meningkat karena 40% sekolah ikut menentukan kelulusan. Tetapi kebocoran ternyata tetap sama terjad seperti tahun sebelumnya.

Ada Oknum?
Penulis berharap bila ada manipulasi semoga hanya oknum tertentu yang terlibat dalam manipulasi UN, tidak ada grand design dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dan tidak bertanggung-jawab. Apa yang disampaikan Mendiknas bahwa tidak ada kebocoran di UN 2011 semoga bukan sebuah pernyataan politis yang beraroma pencitraan, tapi dari keterbatasan kemampuan dalam memantau berjalannya UN. Bila sebuah kejahatan dilakukan secara sempurna (the perfect crime) dan itu menjadi sebuah gerakan dari “tim sukses” dari hulu ke hilir maka kesucian dunia pendidikan menjadi ternodai. Penodaan dan konspirasi “cantik” yang terjadi di dunia pendidikan suatu saat akan menenggelamkan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan. Bila dunia pendidikan sudah sulit dipercaya seperti (maaf) lembaga penegak hukum, kepolisian, perpajakan, dan partai politik maka ada sebuah bencana kemanusiaan yang akan terjadi kemudian.

Dunia pendidikan adalah entitas strategis dalam membangun SDM, dari dunia pendidikanlah manusia menjadi lebih manusiawi keberadaannya. Tatkala dunia pendidikan mengalami public distrust (tidak dipercaya masyarakat) berawal dari berbagai gosip dan diskursus “aneh” yang berkembang dimasyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, maka selamat tinggal nama baik dunia pendidikan. Jangan-jangan menggejalanya home sehooling imbas dari pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal di satuan pendidikan. Meminjam istilah Sumbodo Syamsudin (Media Indonesia, 20 April 2011) stigma dan label stereotip berperan terhadap kelangsungan lembaga pendidikan kita. Dunia pendidikan akan semakin beresiko ketika jumlah oknum semakin banyak dan hidup di pendidikan. Oknum birokrat, oknum kepala sekolah, oknum guru, oknum masyarakat dan oknum lain yang “bermain” di dunia pendidikan secara tidak langsung sedang menggiring citra pendidikan pada jurang yang mematikan, bagi masa depan pendidikan Indonesia.

UN di Zaman Edan, Dunia Pendidikan Jadi Panggung Sandiwara?
Edi Sungkowo (Pikiran Rakyat , 24 April 2011) mengadopsi pepatah Pangeran Joyoboyo abad 12 yang menjelaskan zaman edan dengan indikasi; yang tidak ikut gila tidak dapat bagian, para pembohong bersuka ria, orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil, yang tidak dapat mencuri dibenci, yang pintar dan curang jadi teman. Dalam analisa Sungkowo sepertinya berbagai lini kehidupan mulai dirasuki prilaku edan, orang baik dan jujurpun bisa tersedot ke pusaran keeedanan. Bentuk keedanan berbentuk mafia, baik mafia pajak maupun mafia peradilan. Bagaimana objektifitas UN di zaman seperti ini? Semoga tidak terlalu banyak sandiwara dalam UN. Tidak ada mafia dan manifulasi serta politik pencitraan.

Akan lebih miris bila dunia pendidikan kebawa edan, karena harapan perbaikan masyarakat yang edan (istilah Sungkowo) banyak diharapkan dari dunia pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang berorientasi mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa supaya berbudi pekerti yang luhur dan melestarikan kebudayaan adiluhung manusia. Pendidikan adalah benteng terakhir sebagai harapan penahan gempuran budaya dan segala hal negatif yang berkembang pada dunia yang semakin mengglobal. Bila dunia pendidikan __meminjam istilah Darmaningtyas, Kompas 4 April 2002__sudah rusak-rusakan, maka area pendidikan sebagai pilar terakhir fungsinya menjadi mandul dan tak ”beranak” kebaikan. Rini Kustini dan Herlambang Jaluardi (Kompas , 28 April 2011) mengilustrasikan pendidikan kita seperti air keruh yang tercemari. Ia mengatakan potret pendidikan sekeruh air yang tercemari. Jangan ada mafia di dunia pindidikan kita, jangan ada sandiwara di dunia pendidikan kita, jangan ada dusta di dunia pendidikan kita dan jangan jadikan pendidikan sebagai korban komoditas politik.

Penulis menerima SMS dari seorang guru di Kabupaten Bandung, isinya mengatakan “sebuah kesalahan yang sudah disepakati dan dikerjakan bersama-sama berubah menjadi sebuah kebenaran tanpa disadari dan dipikirkan apa dampaknya bagi generasi berikutnya, yang penting masalah hari ini beres, nanti ya nanti aja”. Akan jadi apa dan dibawa kemana bangsaini? Inilah mungkin dalam bahasa Erna Tigayanti (Radar Sukabumi, 26 April 2011) dengan prilaku yang melibatkan semua pihak berlomba-lomba menghalalkan segala cara untuk kelulusan UN.

Realitas Terbalik
“Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan, betapa tidak mengherankan, penegak hukum yang mestinya harus menegakan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian fenomena sirkus..” pernyataan ini disampaikan Mendiknas Muh. Nuh pada upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kementrian Pendidikan Nasional (2/5/2010).Bila kita cermati dari pernyataan Muhammad Nuh diatas nampaknya wilayah pendidikan menjadi bagian dari permasalahan, disejajarkan dengan permasalahan penegak hukum dan tradisi feodalis pejabat.

Penyair Taufik Ismail (1998) dalam puisinya menyindir realitas di negeri kita sebagai berikut “ Di negeriku budi pekerti mulia dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam ditumpukan jerami selepas menuai padi. Langit ahlak rubuh, diatas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak….Malu aku jadi orang Indonesia. Pernyatan Taufik Ismail secara tidak langsung menjelaskan bahwa budi pekerti yang mulia seharusnya ada pada dunia pendidikan kita, pada masyarakat kita, pada birokrat kita bukan hanya tertera pada kitab suci.

Darmaningtyas berargumen terbalik, pendidikan seharusnya mencerdaskan anak bangsa malah mencemaskan anak bangsa, ini terjadi pada UN yang dipaksakan oleh pemerintah. Penulis sepakat dengan Darmaningtyas UN menjadi permasalah serius pada peserta didik kita, UN telah mencederai iklim dunia pendidikan kita. Jakob Sumardjo (Kompas ,22 Januari 2011) menggambarkan realitas sekarang sangat absurditas (unreasonable), negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk penjara melainkan menjadi pahlawan bangsa. Taman makam pahlawan telah menjadi taman makam kriminal, makanya para syahid tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan. Dalam lingkungan yang terbalik seperti ini bagaimana eksistensi dan objektifitas UN? Apakah dalam dunia terbalik versi Jakob Sumardjo UN memiliki integritas, trasparansi dan akuntabilitas publik? Mari kita jawab secara jujur dalam relung hati kita yang paling dalam, sejauh mana UN kita memiliki dampak positif dan negatif pada generasi kita.

Kejujuran atau Kelulusan?
Kejujuran itu realitas karakter sebagai modal dasar manusia yang memiliki hati nurani, sementara kelulusan berhubungan dengan pengetahuan (knowledge). Rusaknya bangsa ini bukan oleh orang-orang jujur, tapi oleh orang-orang pintar dan berpendidikan yang memiliki keunggulan pengetahuan (knowledgenya). Para perusak negeri ini didominasi oleh individu-individu lulusan universitas dan perguruan tinggi, mereka adalah kelompok yang sudah “lulus” dari dunia pendidikan. Mereka sudah melewati ujian berbau akademis sejenis UN, SNMPTN, sidang skrifsi, tesis bahkan disertasi. Semuanya Lulus.

Dalam momen UN yang terpenting kejujuran atau kelulusan? Benarkah dimasyarakat kita kejujuran UN lebih penting daripada kelulusan UN? Pembaca dapat menyimpulkan sediri penting manakah bagi generasi muda memaknai kejujuran atau memuja kelulusan? Apa yang terjadi bila kelulusan yang berhubungan dengan pengetahuan lebih diutamakan dibanding kejujuran yang berhubungan dengan hati nurani? Dalam pepatah bijak tidak ada kata gagal__tidak lulus UN__ yang ada adalah sukses yang tertunda, karena ikhtiar yang belum maksimal. Tidak ada pepatah bijak yang mengatakan kebohongan adalah kejujuran yang tertunda, tidak ada “fatwa” yang mendukung ketidakjujuran.

Penulis tertarik dengan dua pejabat publik yang berbeda pemahaman tentang pentingnya kelulusan UN dan kejujuran UN. Bupati Sragen Untung Wiyono memaksa semua siswa sekolah negeri di Bumi Sukowati harus lulus ujian nasional (UN) 100% pada tahun ini. Bupati meminta tingkat kelulusan UN di Sragen harus peringkat terbaik pertama di Jateng.Saat ditaya wartawan Solo Pos ia mengatakan,”Pada 2009 lalu, persentase kelulusan UN di Sragen nomor satu
se-Jateng. Namun, 2010 memang menurun menjadi peringkat kedua di Jateng. Nah, pada tahun ini Sragen harus kembali mendapat peringkat pertama. Kalau saya dibilang memaksa, ya memang saya paksa,” ujarnya(Solo Pos,18 April 2011).

Berbeda dengan Wiyono , Walikota Solo, Joko Widodo menegaskan tidak akan mentargetkan tingkat kelulusan ujian nasional (UN) bagi siswa di Kota Solo tahun 2011 ini. Walikota menilai kejujuran siswa dalam mengerjakan ujian tersebut lebih utama. Bukan tanpa alasan Walikota tidak mentarget tingkat kelulusan siswa yang mengikuti UN tahun ini. Sebab menurut Walikota, apabila pihaknya menetapkan target tertentu dikhawatirkan justru akan menekan pihak Dinas Pendidikan, sekolah, orangtua, maupun siswa itu sendiri untuk berbuat tidak jujur demi bisa lulus dan memenuhi target. “Saya tidak akan mentargetkan tingkat kelulusan UN. Apa adanya saja. Berapapun yang berhasil lulus, ataupun yang ternyata belum bisa lulus dalam ujian tersebut, tidak menjadi masalah untuk saya. Biar saja kalau misalnya daerah lainnya bisa memperoleh tingkat kelulusan lebih tinggi dibanding Solo, tapi bagi saya yang penting siswa-siswa tersebut bisa mengerjakan dengan lancar dan jujur,” ujar Walikota saat dimintai tanggapan seputar pelaksanaan UN tahun 2011. Penulis apresitaif terhadap pernyataan Joko Widodo, secara tidak langsung ia menjelaskan pemerintahannya tidak memuja kelulusan UN tetapi lebih mengedepankan kejujuran UN.

Tujuan Positif UN
Setiap melangkah pasti ada yang terinjak, begitupun dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada hal positif ada hal negatif. Mari kita lihat sejauh mana kemungkinan pengaruh UN terhadap masyarakat kita, terutama peserta didik sebagai objek langsung. Apabila UN berjalan jujur dan kredibel __seperti yang selalu digemborkan__maka ada positifnya diantaranya adalah; 1) Mengukur sejauh mana daya serap peserta didik dan kompetensinya dalam setiap materi yang di UN-kan.2) Mengukur kelulusan sekaligus digunakan sebagai standar pendidikan secara nasional dan memetakan proses penyelenggaraan pendidikan di seluruh daerah.3)Pemerintah memiliki data kuantitatif peserta didik.

Dampak UN yang Tidak Jujur
Muhibuddin pengamat pendidikan Universias Negeri Malang : tragedi kecurangan UN sejatinya sama bahayanya dengan cukong-cukong makelar kasus di lembaga penegak hukum yang leluasa mengatur kemana hukum bermuara, bukan tidak mungkin buntut tragedi kecurangan UN bisa memudarkan kepecayaan publik terhadap lembaga pendidikan, persis seperti pudarnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. UN telah mencederai “kesucian” institusi pendidikan sebagai lembaga formal pembentuk generasi cerdas dan berbudi pekerti yang luhur, sebuah petaka besar.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan investasi masa depan. Buahnya baru bisa dipetik dalam kurun waktu antara 15 hingga 25 tahun mendatang. Kalau sejak dini anak-anak masa depan negeri ini sudah “diracuni” strategi potong kompas dalam meraih sukses semu, jangan salahkan mereka kelak kalau menjadi generasi bebal yang miskin nurani, menjadi pewaris semangat Machiavelli yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan, bahkan bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang mau menang sendiri dengan menerapkan strategi ilmu permalingan yang tega menjual nilai kebenaran dan kejujuran demi memenangkan ambisi dan keserakahan.
Bila kita lihat dari penjelasan diatas maka dikhwatirkan Indonesia kedepan akan banyak melahirkan generasi Gayus Gayus baru yang lahir dari mental terabas, instan, absurditas, Machiavellistik, kognitifistik , diabolik, hipokrit dan abai terhadap proses. Generasi yang abai dan apatis terhadap segala kejujuran dan alergi terhadap proses akan menggiring pada estapetsi generasi bangsa yang gagal. Generasi bermasalah (chaos generation) dilahirkan dari proses yang bermasalah, ia menganggap segala hal yang salah adalah benar karena dilakukan secara bersama-sama dan diwariskan.

Anak adalah peniru ulung. Generasi muda adalah sosok identifikator, imitator, dan aktor masa depan. Bila ketidakjujuran itu direkam dan dilakukan oleh mereka sejak dini (SD,SMP, SMA), maka pada usia produktifnya ia memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakjujuran jauh lebih ekstrim. Tidak ada negara dan bangsa yang maju dan menentukan peradaban dunia dengan ketidakjujuran. Penomena ketidakjujuran UN yang dilakukan secara kolektif akan menghantarkan bangsa Indonesia bukan pada gerbang “kemerdekaan”, tapi pada gerbang kemunduran peradaban. Penulis tersentuh dengan sindiran Taufik Ismail yang mengatakan kita negara mayoritas beragama, tapi budi pekerti yan mulia hanya ada dalam kitab suci.

Kitab suci mengajarkan ahlak yang baik, bila kitab suci diabaikan hanya ada di rak buku maka kebermanfaatannya tidak membumi, inilah tanda-tanda mundurnya sebuah bangsa. Tanda-tanda kemuduran suatu bangsa menurut Prof. Thomas Lickona dari Cortland University diantaranya adalah ketika ketidakjujuran terjadi dimana-mana. Lickona menyarankan kita untuk mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). Seandainya UN menyebabkan ketidakjujuran dimana-mana, berarti ini tanda-tanda suatu bangsa sedang menuju kemunduran menurut tesis Lickona.

Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.

Pengamat pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Said Hamid Hasan berpendapat sebaiknya UN tidak ditujukan untuk menentukan kelulusan. Selajutnya ia mengkritisi realitas dunia pendidikan dengan mengatakan "Adanya bimbel dan latihan-latihan di sekolah tiga bulan menjelang UN menggambarkan anak tidak lagi dalam konsep pendidikan, tapi dalam proses belajar untuk ujian dan merupakan gejala yang tidak baik," kata Said.
Menurutnya, kondisi tersebut adalah bahaya besar jika pemerintah tetap melanjutkan proses pendidikan seperti ini.

Saran
Alangkah bijaknya pemerintah bila menjadikan UN sebagai data kuantitatif saja sebagai acuan standarisasi kemampuan peserta didik dalam menyerap materi pelajaran secara nasional, tetapi tidak menjadi penentu kelulusan peserta didik. Manajemen internal dan otonomisasi satuan pendidikan lebih mengetahui dan menyentuh langsung semua peserta didik, maka kelulusan adalah momen sakral sebuah satuan pendidikan sebagai “vonis” objektif tentang kemajuan dan kemampuan peserta didik selama belajar di satuan pendidikan. Ketika kelulusan dominan ditentukan oleh pusat, maka menurut penulis ini adalah pelanggaran HAM dan “KDRT” dalam rumah tangga dunia pendidikan. Arogansi pemerintah dalam UN telah membuat apatisme dan lunturnya idealisme tenaga pendidik dalam penyelengaraan proses pendidikan di Indonesia.

Peserta didik stres, puluhan orang tua peserta didik masuk rumah sakit jiwa (Media Indonesia, 21 April 2011), menyebar fitnah di dunia pendidikan, Kepala Sekolah, guru, Kepala Dinas, Pemda menjadi serba salah dan menjadi korban sistem. Menurut penulis alangkah bijaknya bila UN dipertimbangkan untuk ditiadakan, ganti dengan istilah baru yang tidak mencerabut autoritas kelulusan dari satuan pendidikan. Kalupun UN masih tetap ada, coba tengok sebuah negara yang dianggap memiliki pendidikan terbaik di dunia yakni Finlandia, di negara ini tetap ada Ujian Nasional (UN). Tapi perhatikan pendapat Leo Pahkin, konselor pendidikan dari badan Pendidikan Nasional Finlandia, ia mengatakan "Untuk mengevaluasi sistem pendidikannya, Pemerintah Finlandia menggelar UN, namun UN ini tidak diikuti oleh semua siswa dan tidak untuk semua mata pelajaran setiap tahunnya. ’Kami mengambil secara acak siswa yang mengikuti UN. Hasilnya hanya kami gunakan untuk mengevaluasi sistem pendidikan kami, bukan untuk menentukan kelulusan. Soal penilaian atau kelulusan itu urusan sekolah," katanya. Dibanding Finlandia betapa primitifnya kita yang masih mati-matian menggelar UN?

Selama ada nama dan istilah UN, maka ada catatan traumatik amoralistik kolektif pada peserta didik dalam sejarah pendidikan kita. Solusi termudah pemerintah sebaiknya mempelajari pada periode EBTANAS, kecurangan dan ketidakjujuran walaupun dimungkinkan masih ada tapi minimalis dan manusiawi. Stop UN, stop demoralisasi di dunia pendidikan.

Senin, 04 April 2011

10 FORMULA HENTIKAN TAWURAN PELAJAR DI KOTA SUKABUMI


Oleh: Dudung Koswara
(praktisi pendidikan pemerhati peserta didik)


Pada hari Jum'at, 11 Maret 2011 surat kabar lokal paling populer di Sukabumi yakni Radar Sukabumi memberitakan tentang tawuran pelajar di Kota Sukabumi. Tawuran pelajar ini menjadi “istimewa” karena sehari sebelumnya 9 Maret 2011 ada MoU antar pelajar untuk menciptakan perdamaian dan anti tawuran di Kota Sukabumi. MoU untuk tidak tawuran nampaknya tak bermakna, ditandai dengan tawuran yang terus terjadi. Sebuah penomena peserta didik yang sepertinya tidak pernah mau selesai. Beberapa bulan penulis perhatikan nampaknya sebagian pelajar di Kota Sukabumi ini masih tetap ngeyel dengan kenakalannya. Realitas ini menjadi tamparan memalukan bagi dunia pendidikan di Kota Sukabumi, karena disisi lain prestasi Kota Sukabum cukup gemilang baik tingkat regional maupun tingkat nasional.

Kota Sukabumi adalah kota adminisratif yang istimewa, dalam artian segala hal yang terjadi di Kota Sukabumi akan cepat terakses pada semua lapisan masyarakat. Ada ungkapan familier dimasyarakat Kota Sukabumi sering terdengar bahwa “di Kota Sukabumimah jarum leungit oge bisa kapanggih”, ini memiliki pengertian bahwa hal sekecil apapun yang terjadi di lingkup Kota Sukabumi aka menjadi wacana dan permasalahan bersama. Ungkapan sosial ini mendorong kita untuk lebih hati-hati dalam bersikap dan bertindak di Kota Sukabumi. Hal inipun termasuk pada segala perilaku yang berkenaan dengan pelajar di Kota Sukabumi, akan menjadi “jarum besar” bagi masyarakat Kota Sukabumi. Penomena pelajar tawuran di Kota Sukabumi telah menjadi “jarum besar” yang menusuk dunia pendidikan bukan jarum hilang lagi bahkan hal ini menjadi permasalahan bersama, terutama pihak-pihak yang terkait langsung.


Kematian Ade Sugiana (16) siswa SMK Kartika Candra dalam insiden tawuran di Cicurug 5 Pebruari 2011 dan beberapa peristiwa mengagetkan lainnya, semakin meneguhkan ada gejala radikalisme sebagian pelajar di Sukabumi. Sungguh sebuah perilaku yang kelewat batas ketika segerombolan pelajar melukai teman pelajar lain yang dianggap sebagai musuh sampai merenggut nyawanya. Bagaimana nasib bangsa kedepan kalau generasi muda remaja pelajarnya saling berhadapan untuk membinasakan? Penulis pernah mewawancara seorang siswa yang harus rela sebelah matanya tak dapat melihat lagi karena resiko sebuah tawuran. Penulis pernah mewawancara seorang siswa yang tangan sebelah kanannya harus dioprasi 20 jahitan dan terbaring semingu di rumah sakit. Sebuah fakta yang memberikan pesan bahwa tawuran telah menjelma menjadi sebuah “ritual ekstrim” remaja pelajar dalam mengaktualisasikan diri secara menyimpang.



Data di Jakarta tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, dalam e-psikologi, 2001). Meningkatnya kasus tawuran di kota besar “amit-amit” jangan terjadi di tempat kita Kota Sukabumi, walaupun kita mulai merasakan indikasinya. Jangan ada Ade Sugiana-Ade Sugiana yang lainnya, cukup sampai disana.

Dalam harian Radar Sukabumi 30 Maret 2011 ada warga Kota Sukabumi yang khawatir Sukabumi menjadi kota tawuran, sebuah komentar pesimis kritis dengan penanganan siswa tawuran. Wakil Walikota Sukabumi, Doktor H. Mulyono, M.M., berpendapat , bahwa tensi dan kuantitas tawuran di Kota Sukabumi, mengalami penurunan secara drastis, namun kualitasnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kapolres Kota Sukabumi, AKBP Anwar mengatakan seandainya ada siswa bergerombol sebaiknya segera dilaporkan pada polisi.Pernyataan perwira polisi ini menjelaskan betapa mudahnya terjadi tawuran pelajar di Kota Sukabumi, sampai-sampai pelajar bergerombol saja harus dilaporkan. Suara masyarakat dan suara birokrat diatas, menurut penulis adalah sebuah ungkapan objektif yang menjelaskan tentang penomena tawuran pelajar yang masih kental. Ini adalah permasalahan bersama yang harus ditanggulangi bersama dengan langkah-langkah cerdas dan mendasar.

Kenakalan Remaja/Pelajar
Tawuran adalah ekspresi kenakalan remaja pelajar. Apa sebenarnya kenakalan remaja itu? Mengapa terjadi kenakalan remaja? Mengapa mereka bersikap anti sosial? Mengapa mereka mengabaikan nilai-nilai kemanusian? Ada apa dengan manusia diusia mereka? Kartono, ilmuwan sosiologi menjelaskan kenakalan remaja (juvenile delinquency) merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang". Santrock mengataka "Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal."

Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis).

Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.

Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.

Kenakalan remaja yang diidentifikasi penulis adalah munculnya kenakalan dalam bentuk tawuran, sebuah ekspresi pelajar yang tak dapat dipertanggung-jawabkan secara sosial dan secara moral. Beberapa literatur diatas menjelaskan tentang definisi tentang kenakalan remaja dimana salah satu kenakalan yang menonjol di Kota Sukabumi adalah perilaku tawuran. Tawuran sebuah kenakalan remaja yang berkecenderungan untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17/18 tahun.

Penyebab Kenakalan Remaja/Pelajar
Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Faktor internal yakni krisis identitas perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja.. Kontrol diri yang lemah membuat remaja tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima, dengan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Kontrol diri yang lemah sementara kepenasaran yang tinggi akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya. Kontrol diri yang lemah akan semakin bermasalah ketika mereka berkumpul dengan sesamanya yang sama-sama masih remaja. Pisik yang sedang tumbuh, kepenasaran sedang kuat-kuatnya didukung dengan semangat kelompok seusia/sebaya, jadilah sebuah sikap menonjol yang asosial. Self control yang lemah menjadi pintu masuk stimulus negatif yang berujung pada respon/tindakan yang menyimpang.

Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap munculnya tindakan menyimpang adalah keluarga. Keluarga adalah realitas awal remaja mengenal dunia nyata, “kesan pertama” dalam keluarga adalah edukasi awal bagi remaja dalam memandang dunia nyata. Kalau kondisi sebuah keluarga berantakan (broken home) maka dapat dipastikan sianak remaja akan mengalami kebingungan identitas. Bila keluarga menjadi dasar pengenalan remaja pada dunia nyata didalamnya sering terjadi tindakan yang menyimpang maka dipastikan sianak remaja akan terpengaruh oleh kondisi ini. Keluarga yang well educated (berpendidikan) punya pengaruh besar dalam mencetak generasi muda potensial, begitupun sebaliknya keluarga yang bermasalah secara tidak langsung sedang mencetak generasi yang bermasalah. Generasi bermasalah inilah yang kemudian akan melahirkan berbagai tindak asosial dan perilaku merusak diri. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.

Selain masalah kondisi rumah yang berkontribusi pada permasalahan remaja ternyata ada hal lain yang berpengaruh pula yakni teman sebaya yang kurang baik. Pepatah bijak mengatakan siapa teman kita menentukan siapa kita, ini menjelaskan bahwa seorang pelajar dengan siapa ia berteman akan menentukan siap dirinya. Teman sebaya yang buruk secara tidak langsung akan meng-guide remaja pelajar pada hal-hal yang kurang baik, dimana suatu saat akan terakumulasi dan berwujud satu bentuk perilaku dan tindakan menyimpang. Penulis sering sekali berkomunikasi dengan orang tua peserta didik yang sudah tak berdaya melakukan polarisasi perilaku pada anaknya karena dikalahkan oleh polarisasi perilaku teman sebayanya. Kuatnya pengaruh teman sebaya pernah penulis dengar dan terlontar dari mulut seorang pelajar yang mabuk, ditengah kesadarannya yang bermasalah ia mengatakan “ segala hal yang ia lakukan__perbuatan buruknya__ demi sebuah pertemanan dan kesetikawanan. Nampaknya kawan sebaya menjadi prioritas dibanding guru dan orang tuanya sekalipun, sebuah sikap dan pilihan yang adil dan baik versi mereka.

Satu variabel penting lagi mengapa pelajar menjadi berperilaku menyimpang? Dari beberapa literatur menjelaskan bahwa komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik sangat berpengaruh pula pada perilaku remaja pelajar kita. Beberapa orang tua siswa pernah berkonsultasi pada penulis dan menjelaskan tentang kenakalan anaknya karena lingkungan teman bermain. Menurut orang tua siswa pada penulis, sebuah lokasi padat penduduk di Kota Sukabumi, sebut saja daerah Tipar telah menjadi penyebab seorang siswa jadi berprilaku menyimpang. Sebuah realitas yang memalukan ketika seorang remaja pelajar yang melakukan tindakan menyimpang mengaku dirinya berasal dari daerah Tipar, sepertinya daerah Tipar menjadi jaminan bahwa perilakunya akan ditolerasni oleh orang lain.

Nama daerah Tipar telah dirugikan karena diidentikan dengan jaminan keamanan kalau melakukan sebuah kenakalan. Aneh memang di Kota Sukabumi seorang pelajar/pemuda seperti membusungkan dadanya ketika ia meyebut dirinya dari kampung Tipar. Memang sering penulis menyelesaikan masalah perkelahian dan tawuran ada kaitannya dengan remaja pelajar yang berasal dari daerah Tipar. Inilah peranan lingkungan yang berpengaruh pada pola perilaku remaja pelajar kita. Penomena daerah tipar mengingatkan kampung kelahiran penulis di daerah Bongas Tasikmalaya yang memliki kemiripan, dimana suatu daerah identik dengan kenakalan pelajar atau pemudanya. Kampung kelahiran penulis menjadi enemy bagi kampung yang lain karena kenakalan remajanya. Sebuah lingkungan yang mempengaruhi prekembangan remaja pelajar yang tumbuh dan berkembang didalamnya.

Langkah yang telah ditempuh
Beberapa langkah baik telah ditempuh di Kota Sukabumi dari mulai MoU untuk tidak tawuran sesama pelajar, sosialisasi kesekolah-sekolah melalui kepolisian, sampai pada sosialisasi dan patroli keliling petugas kepolisian dan petugas Dinas Pendidikan Kota Sukabumi. Upaya pemerintah dan kepolisian terus berjalan,bahkan patroli yang dilakukan Polisi bersama TNI. Anggota DPRD, para tokoh agama, dan lapisan masyarakat lainnya telah ambil bagian dalam upaya meminimaslisir tawuran pelajar di Kota Sukabumi.

Langkah-langkah yang telah dilakukan dalam menanggulangi berkembangnya tawuran pelajar di Kota Sukabumi sepertinya sudah cukup baik, tetapi bukti empiris dari realitas yang terjadi menjelaskan bahwa langkah-langkah yang sudah ada harus di evaluasi kembali, mengingat terus berkembangnya tawuran pelajar di kota yang mengutamakan jasa pelayanan pendidikan ini. Wali Kota Muslikh Abdussyukur, cukup dikecewakan dengan segala reaksi dan agresifitas pelajar Kota Sukabumi yang terus berkembang.

Sepertinya berbagai upaya yang telah dilakukan seperti nenebas pohon enteh, hilang sementara tapi kemudian muncul kembali. Tindakan preventif, kuratif, dan refresif pada pelajar Kota Sukabumi tidaklah mudah, mengingat mereka dalam usia labil dan serba ingin mencoba. Berkomitmen dengan “manusia” di usia ini menurut penulis lebih banyak spekulasinya daripada tanggung-jawab dan komitmenyna. Perlu sebuah langkah lebih cerdas dan mendasar dalam menyelesaikan problematika tawuran pelajar ini. Petugas kepolisian, ahli agama, satpol PP dan TNI __maaf__ tidak bemanfaat banyak dalam menyelesaikan masalah tawuran ini. Hal ini menurut penulis karena permasalahan diselesaikan atau dilihat dari depan dan menggunakan pendekatan sanksi. Padahal jauh lebih kedalam menurut hemat penulis hanya langkah edukasi yang humanis yang dapat menyelesaiakn masalah tawuran pelajar ini.


10 Formula Anti Tawuran Pelajar
Menurut hemat penulis ada beberapa langkah edukatif humanis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi dan meminimalisir tawuran pelajar di Kota Sukabumi. Beberapa siswa yang terindikasi dan terdata sebagai pelaku tindak kekerasan / tawuran diperlakukan dengan sepuluh langkah edukatif humanis. Pemda Kota Sukabumi bersama Dinas Pendidikan membentuk tim khusus__didalamnya banyak melibatkan guru-guru terbaik__untuk membentuk satuan pelayanan peserta didik yang bermasalah. Pemda dan Dinas Pendidikan mengalokasikan dana khusus untuk oprasional kegiatan ini, nama baik dan citra Kota Sukabumi harus “dibeli” dengan membiayai oprasional secara memadai kegiatan tim khusus ini. Boleh saja tim ini diberi nama TEPS (Tim Edukasi Pelajar Sukabumi) Penulis yakin bahwa guru-guru terbaik yang terpilih/ditunjuk khusus oleh pemda/dinas pendidikan , akan lebih dapat diterima pelajar dibanding polisi, satpol PP, TNI dan masyarakat lainnya, guru yang baik bagaikan pawang ular bagi siswanya. Tim ini bertugas melakukan 10 langkah stratejik dalam melakukan approach khusus terhadap semua siswa yang terindikasi tawuran. Langkah-langkah setratejik yang harus dilakukan oleh Tim Edukasi Pelajar Sukabumi (TEPS) ini adalah:

Pertama data semua sekolah yang sering terlibat tawuran, lakukan sosialisasi edukasi yang baik. Jangan sekali-kali mengeksekusi mereka dengan perkataan dan tindakan fisik yang merendahkan harga diri mereka. Tindakan tidak menyenangkan dan merendahkan harga diri seorang remaja pelajar akan berdampak tidak baik pada komunikasi selanjutnya. Perlu diingat bahwa merubah rerilaku peserta didik perlu proses yang berkesinambungan, jangan terlalu menuntut harus berubah total tapi guide ia supaya berubah walaupun perlahan. Dalil-dali agama yang menjelaskan kesalahan perilaku mereka tak kurang befungsi dalam usia mereka. Pendekatan humanis dialogis lebih dapat diterima. Apa yang mereka pahami menjadi jalan masuk pada dunia mereka, mari kita masuk pada mereka dan jelaskan bahwa sebenarnya bagaimana kehidupan hari ini dan masa depan mereka kelak. Berikan motivasi dan arahan yang masuk akal menurutnya.

Kedua kenali lebih baik siapa sebenarnya mereka? Ketahui nama dan identitas lainya dekati secara apresiatif, segala kesalahan mereka yang telah diperbuat jelaskan sebagai sebuah kekhilapan yang tak harus diulangi kembali. Hargai/apresiasi kelebihan lain yang ada pada dirinya jasmaninya ataupun hal istimewa lainnya, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan setiap individu dengan “sesuatu” yang istimewa yang ada pada dirinya. Orang lain mengetahui nama kita dan kita tidak mengenalnya adalah sebuah surprise tersendiri bagi sipemilik nama. Istimewakan mereka secara objektif dan tidak lebay atau berlebihan. Seorang Walikota menyebut nama seorang pelajar bermasalah di muka umum dalam acara formal ataupun non formal dengan baik, akan diingatnya seumur hidup. Tidak menutup kemungkinan peristiwa ini menjadi awal perubahan masa depannya.

Ketiga berkunjung kerumah mereka dan bersilaturahmi dengan orang tuannya. Kunjungan ini akan menjadi peristiwa penting bagi mereka apalagi kita dapat “akrab” dengan pihak keluargannya. Orang tua dan rumah adalah sosok dan tempat dimana mereka dibesarkan, kunjungan kita secara tidak langsung telah memberikan perhatian khusus secara humanis. Perlu dibuat alasan bahwa kunjungan tidak harus karena masalah yang sedang berkembang, tetapi ada kepentingan ingin menjalin silaturahmi dan kekeluargaan. Bila kita dapat menjadi bagian keluarga maka mereka akan jauh lebih menghargai. Kunjungan yang tulus dan bermakna akan menanamkan komitmen positif pada mereka,cepat ataupun perlahan.

Keempat berikan ruang ekspresi dalam bentuk wadah kegiatan kesukaan mereka. Masuklah melalui kesenangan mereka, sekolah tempat ia belajar harus mampu memfasilitasi kesenangan mereka karena usia remaja adalah usia kelebihan enerji , sehingga enerjinya harus diurai dengan kegiatan-kegiatan positif di sekolah dengan pendampingan guru khusus. Enerji remaja yang tidak diwadahi akan mengalir pada kegiatan lain diluar sekolah, bahayanga kegiatan diluar sekolah itu liar dan tanpa aturan. Kegiatan pengembangan diri dalam bentuk Olah-raga, kesenian, kepramukaan, kajian keagamaan, dan kegiatan ekstra kurikuler lainnya di sekolah akan memalingkan pelajar dari kegiatan lain yang tak perlu.

Kelima Tak Kenal Maka Tak Sayang. Ungkapan ini syarat dengan filosofis yang humanis, bila mereka mengenal seseorang maka ia bisa menjadi teman tapi bila mereka tidak mengenal seseorang maka ia menjadi orang lain. Mengenal orang lain akan menciptakan subjektifitas pada diri mereka sebagai remaja, maka akan lebih mudah didamaikan seseorang yang bertengkar bila mereka saling mengenal. Langkah kelima ini harus mengusahakan bila ada dua sekolah pelajarnya terlibat tawuran maka segera lakukan rekonsilisasi dengan melibatkan mereka. Usahakan ada lawatan dan kunjungan yang berbalasan dengan diasuh oleh tim guru khusus. Ending dari lawatan dan kunjungan antar sekolah yang terlibat tawuran ini adalah saing mengenal, terjadi persahabatan dan lahirlah istilah “ sudah mengenal dan sudah bersahabat”.

Keenam berikan bantuan atau santunan. Menurut beberapa penelitian tentang kenakalan remaja faktor golekmah (golongan ekonomi lemah) menjadi sebagian latar belakang sebuah kenakalan remaja terjadi. Pergaulan remaja zaman sekarang yang cenderung konsumtif semakin menyuburkan tindak kenakalan bagi remaja dari keluarga yang tidak mampu. Bantuan berupa kebutuhan alat-alat sekolah serta biaya sekolah akan menjadi hal istimewa bagi mereka, bantuan bisa menjadi “kendaraan” dalam menyetir perilaku mereka. Perhatian dalam bentuk bantuan segala keperluan sekolah mereka, dapat menjadi pengikat secara mental pada mereka.

Ketujuh berikan peranan dan tanggung-jawab untuk mengerjakan dan melakukan sesuatu yang ia sukai. Biarkan mereka merasa berharga dengan adanya kepercayaan dari kita (tim khusus), jangan takut dikhianati. Peranan mudah yang diberikan akan mampu memalingkan mereka dari kegiatan lain yang kurang baik yang ujung-ujung terakumulasi menjadi sesuatu yang jahat. Semua manusia memiliki perasaan ingin dihargai, begitupun mereka, diberi peranan berarti dipercaya untuk mengerjakan sesuatu. Usahakan peranan atau tugas bukan sesuatu yang sulit tapi yang wajar dan mudah. Dipercaya mengerjakan tugas__apalagi tugasnya berkaitan dengan kegemarannya__adalah sebuah kehormatan dalam usia yang sedang mencari identitas dan serba ingin tahu. Tim khusus harus bekerjasama secara sinergis.

Kedelapan lakukan kerjasama yang maksimal dengan sekolah (guru dan kepala sekolah) untuk melakukan pengawasan humanis dan pendekatan yang demokratis dengan para siswa yang nakal. Membuat MoU dengan semua sekolah yang terindikasi rawan tawuran, serta melaksanakan silaturahmi terjadwal untuk mengukur dan mengetahui sejauh mana perkembangan radikalisme pelajar di sekolah. Memberikan masukan pada sekolah agar tercipta iklim pelajar yang kondusif dan pelan tapi pasti meninggalkan radikalisme. Membuat selogan-selogan yang berisikan saran dan kata-kata menyemangati para pelajar. Guru-guru diarahkan untuk lebih kompeten dan professional serta memiliki nilai plus secara kolektif yakni apresiatif dan “dekat” pada siswa. Apresiasi dan kedekatan akan meminimalisir gejolak radikalisme pelajar yang cenderung mencari sensasi dan ingin tampil “beda”. Upayakan penghargaan dari sekolah/guru dikemas dalam cara dan gaya yang wajar serta dapat dimengerti oleah siswa. TEPS (Tim Edukasi Pelajar Sukabumi) terus mengevaluasi perkembangan pelajar “nakal” sambil berjalan melakukan tindakan-tindakan edukasi yang humanis dan apresiatif.


Kesembilan mengadakan kegiatan rutin berupa Out Bond dan rekreasi khusus sebagai media
menyatukan hati sesama pelajar. Permainan yang menantang dan menyenangkan akan mengurai spirit radikalisme dan apatisme terhadap lingkungan sosial. Remaja pelajar yang cenderung serba ingin mencoba serta control diri yang lemah memerlukan teman dewasa untuk membimbingnya. Proses pertemanan dan pendewasaan dapat disisipkan pada materi out bond, tentu saja dengan instruktur yang ahli. Setiap akhir kegiatan diadakan dialog dan belajar berkomitmen. Berbagai kegiatan yang menarik bagi remaja pelajar akan memalingkan mereka dari hal-hal yang kurang baik, sebaliknya remaja pelajar tanpa bimbingan dan arahan orang dewasa akan beresiko berkembang tanpa arah. Perkembangan remaja tanpa arahan apapun mungkin dapat terjadi, kondisi inilah biasanya yang melatar belakangi munculnya geng atau komunitas kreatif asosial muncul. Out bond dan rekreasi setidaknya akan menjadi media transfer nilai-nilai budi pekerti, kedisiplinan , kecerdasan serta kekompakan.


Kesepuluh mengadakan trainer motivasi secara rutin kepada mereka. Seorang trainer motivator yang berpengalaman akan memberikan motivasi dan inspirasi pada mereka untuk menjadi pelajar yang baik. Presentasi dan inspiring story yang mereka dengarkan akan merubah mind set mereka secara pelan tapi pasti. Merubah manusia pada dasarnya adalah merubah pola pikir dan konsep diri yang melekat padanya. Perasaan remaja pelajar dapat “dipermainkan” oleh trainer profesional untuk kepentingan positif menuju perubahan yang lebih baik untuk masa depannya. Kenakalan pelajar yang ada di Sukabumi menurut hemat penulis kecil kemungkinan muncul dari keluarga yang harmonis, berpendidikan dan sejahtera. Berdasarkan pengalaman penulis pelajar bermasalah kebanyakan muncul dari keluarga yang bermasalah pula. Mas’alah ekonomi, perceraian, kesibukan orang tua, kasih sayang berlebihan, pendidikan yang terlalu keras, orang tua meninggal, serta kurangnya keteladanan .


Bagi penulis hakekatnya tidak ada yang salah pada remaja kita tetapi yang salah adalah kita orang dewasa yang kurang apresiatif pada mereka. Mereka adalah generasi yang sedang tumbuh dan berkembang secara alami, kondisi mencetak mereka menjadi demikian (suka tawuran). Kesalahan kita terletak pada pendidikan informal keluarga, pendidikan formal di sekolah dan non formal di masyarakat. Karena “kita” yang bersalah maka mari kita tebus kesalahan kita dengan upaya maksimal kita dalam menanggulangi tawuran pelajar di Kota Sukabumi. Jangan ragu melangkah untuk memperbaiki generasi muda karena memperbaiki mereka adalah investasi keberlangsungan Kota Sukabumi khususnya umumnya NKRI yang kita cintai. Pesan penulis “sangat susah memperbaiki bangsa karena banyak langkah yang harus dilakukan , tetapi sangat mudah menghancurkan bangsa cukup satu langkah yakni abaikan saja generasi muda”. Hidup menjadi berarti ketika sebelum kita kembali pada-Nya kita sudah meregeneret satu atau dua individu yang bermanfaat dan memiliki keunggulan sebagai hamba-Nya. Demkian konsep menghentikan tawuran di Kota Sukabumi menurut hemat penulis semoga ada manfaatnya. Learning continuous and never ending improvement.

Selasa, 29 Maret 2011

“GOSIF” UN SELALU BOCOR MELAHIRKAN PARADIGMA PASTI LULUS

(Telaah kritis rusaknya mental belajar siswa di era UN)
Oleh : Dudung Koswara

Pada tanggal 27 Maret penulis berdialog dengan seorang guru favorit salah satu sekolah negeri di Kota Sukabumi. Guru favourite ini mengeluh serius pada penulis tentang motivasi belajar siswanya yang semakin menurun, realitas yang tidak kondusif pada saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) menurutnya menjadi indikasi turunnya motivasi belajar siswa. Siswa kesiangan, kurang mendengarkan guru , cuek dan susah berkonsentrasi pada saat KBM merepresentasikan sebuah penurunan motivasi belajar yang makin menggejala. Si Guru favorit ini __sudah tiga tahun ia menjadi guru idola__ mencoba mencari jawaban apa gerangan penyebabnya? Ada apa dengan siswanya? Mengapa ini makin menggejala?

Sebuah kenyataan yang buruk sedang terjadi pada siswanya. Pikirannya berputar lalu ia mengajak berdialog dengan siswanya. Kesimpulan dari dialog dengan siswa __yang beberapa saat itu__ dapat disipulkan bahwa “seorang siswa memiliki alasan untuk tidak belajar serius karena semuanya akan lulus berdasarkan fakta kelulusan sebelumnya bahwa kakak-kakak kelasnya 100% lulus, bahkan siswa bermasalah sekalipun lulus dengan nilai istimewa”. Si Guru favorit termenung dan curhat pada penulis. Siswanya percaya pada gosif bahwa pada saatnya nanti (UN) ia akan mendapatkan “pertolongan” dan keberuntungan entah dari mana datangnya. Sebuah kepercayaan diri yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara rasioal, ataukah ini menjadi rasional menurut pengalaman empirik mereka? Si Guru favorit kembali termenung dan tak nyaman dengan realitas aneh menurutnya.

Penulis tergugah dengan kegelisahan Si Guru favorit karena sama-sama sebagai paraktisi pendidikan dan pemerhati peserta didik. Kondisi ini mungkin sama dengan kegelisahan para pakar pendidikan yang sudah banyak menuangkan kegelisahannya seperti Prof. H.A.A. Tilaar (2008,iX) yang mengungkapkan bahwa realitas pendidikan kurang menjanjikan yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan yang tidak konsisten dapat berakibat fatal pada nasib bangsa Indonesia. Senada dengan Tilaar , DR. E Mulyasa (2004;6) menjelaskan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Darmaningtyas (2010) melukiskan potret pendidikan di negeri ini bukannya mencerdaskan anak bangsa, tapi justru mencemaskan anak bangsa. Kecemasan dan kegelisahan seorang guru pavorit dan para pakar pendidikan diatas menunjukan ada “sesuatu” dalam dunia pendidikan kita.

Tulisan ini akan mencoba menelaah lebih dalam tetang wacana diatas. Dari mana datangnya mind set peserta didik bahwa ia benar-benar akan lulus dengan tidak belajar serius. Andaikan Mind set peserta didik ini sudah menggejala dan menular secara kolektif pada peserta didik di negeri ini dapat disimpulkan oleh orang bodoh sekalipun bahwa negeri ini pada masa yang akan datang akan ada musibah besar, berupa tsunami kebodohan. Pendidikan Indonesia akan makin berat ke depan bila generasi muda terpelajarnya dihinggapi mental diatas. Angapan pasti lulus dari sebagian besar pelajar kita sangat bebahaya bagi motivasi belajar dan kondusifitas KBM.

Mari kita telaah darimana statement percaya diri berlebihan peserta didik ini muncul. Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Teuku Ramli Zakaria mengatakan, proses pendidikan menghasilkan ketidaklulusan 10 persen ke bawah masih dianggap wajar. Tapi jika yang terjadi lulus 100 persen, justru pendidikan itu dianggap semu dan tidak wajar. Pernyataan Zakaria tentang ketidakwajaran bila banyak sekolah yang lulus 100%, secara tidak langsung Zakaria menganggap ada sesuatu dibalik kesuksesan sekolah-sekolah yang lulus 100%. Jangan-jangan istilah “Tim Sukses” disetiap sekolahan pada saat musim UN identik dengan apa yang ada dalam pikran Zakaria. Saya sebagai penulis menganggap siswa yang malas dan menganggap akan lulus tanpa belajar disebabkan oleh “radiasi/bocornya” UN, sebuah dampak radiasi yang menyerang sisi mental pelajar. Banyak literatur yang menjelaskan sukses bukan karena kognisi tapi lebih banyak pada mental/sikap. Menganggap akan lulus dengan ikhtiar minimal dan asal-asalan sebuah sikap yang sangat berbahaya apalagi pada akhirnya ia lulus juga.

Ada kabar angin yang mengatakan bahwa bimbingan belajar tertentu mampu memiliki kunci jawaban UN, sebuah kabar angin yang menarik untuk dicermati. Kompas.Com menuliskan ada bimbingan belajar yang menjanjikan lulus UN 100%, luar biasa. Kalau sekolah saja sebagai lembaga formal yang mendidik siswa dengan sekian jumlah guru tidak sembarangan mengatakan akan lulus 100%. Bila kita mengacu pada tesis Zakaria anggota BSNP, kelulusan 100% apalagi sudah dijanjikan sebelumnya merupakan indikasi ketidakwajaran. Penulis sebenarnya pernah bertanya pada beberapa siswa peserta UN yang mengatakan adanya oknum yang menghimpun sejumlah uang untuk menebus kunci jawaban UN. Rekan penulis bahkan ada yang berpraduga yang menggiring pada institusi tertentu __yang makin diminati__ bertanggung-jawab atas bocornya UN.

Permasalahan ini makin rasional ketika sekolah makin diabaikan dan “ditinggalkan” secara mental karena kunci kelulusan ada diluar sekolah. Menurut teman penulis yang p¬¬¬ernah bekerja dibimbel ternama di Jakarta ia mengatakan pada tahun 1996 bimbel terindikasi membocorkan soal Ebtanas. Apakah tragedi ini berulang? Ketika kunci jaminan masuk masa depan (lulus UN dan masuk PT favorit) ada diluar sekolah maka sekolah formal dapat menjadi area formalitas. Jika sekolah menjadi area formalitas karena dianggap tidak memberikan “sesuatu” seperti lembaga bimbel , maka akan terjadi sebuah kondisi belajar yang asal-asalan dan tak bermakna. Bila proses edukasi berjalan tidak normal karena formalitas maka akan lahir sebuah generasi yang “invalid” dan tak berkutik untuk menjawab tatangan masa depan.

Bersambung………………..