Selasa, 29 Maret 2011

“GOSIF” UN SELALU BOCOR MELAHIRKAN PARADIGMA PASTI LULUS

(Telaah kritis rusaknya mental belajar siswa di era UN)
Oleh : Dudung Koswara

Pada tanggal 27 Maret penulis berdialog dengan seorang guru favorit salah satu sekolah negeri di Kota Sukabumi. Guru favourite ini mengeluh serius pada penulis tentang motivasi belajar siswanya yang semakin menurun, realitas yang tidak kondusif pada saat Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) menurutnya menjadi indikasi turunnya motivasi belajar siswa. Siswa kesiangan, kurang mendengarkan guru , cuek dan susah berkonsentrasi pada saat KBM merepresentasikan sebuah penurunan motivasi belajar yang makin menggejala. Si Guru favorit ini __sudah tiga tahun ia menjadi guru idola__ mencoba mencari jawaban apa gerangan penyebabnya? Ada apa dengan siswanya? Mengapa ini makin menggejala?

Sebuah kenyataan yang buruk sedang terjadi pada siswanya. Pikirannya berputar lalu ia mengajak berdialog dengan siswanya. Kesimpulan dari dialog dengan siswa __yang beberapa saat itu__ dapat disipulkan bahwa “seorang siswa memiliki alasan untuk tidak belajar serius karena semuanya akan lulus berdasarkan fakta kelulusan sebelumnya bahwa kakak-kakak kelasnya 100% lulus, bahkan siswa bermasalah sekalipun lulus dengan nilai istimewa”. Si Guru favorit termenung dan curhat pada penulis. Siswanya percaya pada gosif bahwa pada saatnya nanti (UN) ia akan mendapatkan “pertolongan” dan keberuntungan entah dari mana datangnya. Sebuah kepercayaan diri yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara rasioal, ataukah ini menjadi rasional menurut pengalaman empirik mereka? Si Guru favorit kembali termenung dan tak nyaman dengan realitas aneh menurutnya.

Penulis tergugah dengan kegelisahan Si Guru favorit karena sama-sama sebagai paraktisi pendidikan dan pemerhati peserta didik. Kondisi ini mungkin sama dengan kegelisahan para pakar pendidikan yang sudah banyak menuangkan kegelisahannya seperti Prof. H.A.A. Tilaar (2008,iX) yang mengungkapkan bahwa realitas pendidikan kurang menjanjikan yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan yang tidak konsisten dapat berakibat fatal pada nasib bangsa Indonesia. Senada dengan Tilaar , DR. E Mulyasa (2004;6) menjelaskan bahwa berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Darmaningtyas (2010) melukiskan potret pendidikan di negeri ini bukannya mencerdaskan anak bangsa, tapi justru mencemaskan anak bangsa. Kecemasan dan kegelisahan seorang guru pavorit dan para pakar pendidikan diatas menunjukan ada “sesuatu” dalam dunia pendidikan kita.

Tulisan ini akan mencoba menelaah lebih dalam tetang wacana diatas. Dari mana datangnya mind set peserta didik bahwa ia benar-benar akan lulus dengan tidak belajar serius. Andaikan Mind set peserta didik ini sudah menggejala dan menular secara kolektif pada peserta didik di negeri ini dapat disimpulkan oleh orang bodoh sekalipun bahwa negeri ini pada masa yang akan datang akan ada musibah besar, berupa tsunami kebodohan. Pendidikan Indonesia akan makin berat ke depan bila generasi muda terpelajarnya dihinggapi mental diatas. Angapan pasti lulus dari sebagian besar pelajar kita sangat bebahaya bagi motivasi belajar dan kondusifitas KBM.

Mari kita telaah darimana statement percaya diri berlebihan peserta didik ini muncul. Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Teuku Ramli Zakaria mengatakan, proses pendidikan menghasilkan ketidaklulusan 10 persen ke bawah masih dianggap wajar. Tapi jika yang terjadi lulus 100 persen, justru pendidikan itu dianggap semu dan tidak wajar. Pernyataan Zakaria tentang ketidakwajaran bila banyak sekolah yang lulus 100%, secara tidak langsung Zakaria menganggap ada sesuatu dibalik kesuksesan sekolah-sekolah yang lulus 100%. Jangan-jangan istilah “Tim Sukses” disetiap sekolahan pada saat musim UN identik dengan apa yang ada dalam pikran Zakaria. Saya sebagai penulis menganggap siswa yang malas dan menganggap akan lulus tanpa belajar disebabkan oleh “radiasi/bocornya” UN, sebuah dampak radiasi yang menyerang sisi mental pelajar. Banyak literatur yang menjelaskan sukses bukan karena kognisi tapi lebih banyak pada mental/sikap. Menganggap akan lulus dengan ikhtiar minimal dan asal-asalan sebuah sikap yang sangat berbahaya apalagi pada akhirnya ia lulus juga.

Ada kabar angin yang mengatakan bahwa bimbingan belajar tertentu mampu memiliki kunci jawaban UN, sebuah kabar angin yang menarik untuk dicermati. Kompas.Com menuliskan ada bimbingan belajar yang menjanjikan lulus UN 100%, luar biasa. Kalau sekolah saja sebagai lembaga formal yang mendidik siswa dengan sekian jumlah guru tidak sembarangan mengatakan akan lulus 100%. Bila kita mengacu pada tesis Zakaria anggota BSNP, kelulusan 100% apalagi sudah dijanjikan sebelumnya merupakan indikasi ketidakwajaran. Penulis sebenarnya pernah bertanya pada beberapa siswa peserta UN yang mengatakan adanya oknum yang menghimpun sejumlah uang untuk menebus kunci jawaban UN. Rekan penulis bahkan ada yang berpraduga yang menggiring pada institusi tertentu __yang makin diminati__ bertanggung-jawab atas bocornya UN.

Permasalahan ini makin rasional ketika sekolah makin diabaikan dan “ditinggalkan” secara mental karena kunci kelulusan ada diluar sekolah. Menurut teman penulis yang p¬¬¬ernah bekerja dibimbel ternama di Jakarta ia mengatakan pada tahun 1996 bimbel terindikasi membocorkan soal Ebtanas. Apakah tragedi ini berulang? Ketika kunci jaminan masuk masa depan (lulus UN dan masuk PT favorit) ada diluar sekolah maka sekolah formal dapat menjadi area formalitas. Jika sekolah menjadi area formalitas karena dianggap tidak memberikan “sesuatu” seperti lembaga bimbel , maka akan terjadi sebuah kondisi belajar yang asal-asalan dan tak bermakna. Bila proses edukasi berjalan tidak normal karena formalitas maka akan lahir sebuah generasi yang “invalid” dan tak berkutik untuk menjawab tatangan masa depan.

Bersambung……………….. 

Rabu, 09 Maret 2011

TUMBUHNYA ALAT VITAL BARU PADA ANAK REMAJA


Oleh : Dudung Koswara

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat melahirkan perubahan baru dalam kehidupan manusia. Era IT terus melejit bagaikan busur panah melintas di atas peradaban manusia, tak dapat dihentikan dan takan pernah berakhir. Bila kita menoleh kebelakang dan membuka referensi kebudayaan awal manusia, rasanya mustahil peradaban manusia dapat sampai pada kehidupan modern seperti sekarang ini. Bagaimana manusia prasejarah begitu sulit berkembang dari satu fase kehidupan pada fase kehidupan selanjutnya. Kehidupan sekarang seperti sinetron yang kejar tayang begitu cepat berubah, kehidupan seperti industri peradaban. Bagaimana kehidupan 1000 tahun kemudian? Wow sungguh mengejutkan. Hanya dapat dijawab oleh prediksi imajiner manusia.

Kehidupan terus berjalan dunia IT terus berlari. Kemajuan IT yang berkontribusi positif pada ekonomi bangsa tertentu , telah melahirkan kontribusi negatif pada bangsa tertentu yang terbelakang. Bangsa atau masyarakat pemakai menjadi komunitas konsumtif yang pasif pada produksi tetapi aktif menggunakan. Kita bangsa yang perlu belajar banyak dari kemajuan bangsa lain. Bangsa kita cenderung menjadi pasar potensial bagi bangsa lain dalam memasarkan hasil produksinya, termasuk produksi ideologi dan gaya hidup yang belum tentu baik bagi kita.
Mari kita lihat realitas yang hadir dalam kehidupan keseharian kita. Kita sering memperhatikan bagaimana seseorang begitu asyik dengan sebuah benda ditangannya. Penulis sering memperhatikan terutama seorang remaja begitu serius ia menggunakan benda yang ada ditangannya. Benda berukuran kecil tetapi "mewadahi" hampir semua yang ada didunia ini. Benda ini telah menjadi "alat vital" baru yang tumbuh/marak dikalangan remaja. HP menjadi benda paling membantu dan "mematikan" dalam kehidupan sekarang. HP bukan saja menjadi bagian dari gaya hidup tetapi telah menyatu pada seseorang menjadi alat vital baru.

Ada anak remaja yang berani menjual "mahkotanya" demi benda kecil yang namaya HP. Berani "menyerahkan diri" pada om-om demi mendapatkan pulsa untuk berkomunikasi dan menghidupkan HP-nya. Mendapatkan HP seperti mendapatkan segalanya. Kehilangan HP seperti kehilangan segalanya, sebuah mental konsumtif yang masuk pada kategori mabuk. Penulis pernah bretemu dengan seorang ibu dan menyatakan bahwa anaknya seperti memiliki kelainan dengan HP-nya. Ternyata siibu tadi menemukan banyak film "dewasa" pada HP-nya. Siibu berniat mengambil HP-nya. Ia (anaknya) mengancam akan bunuh diri bila HP-nya mau dirampas oleh ibunya.

Pencurian, sex bebas, prostitusi, bolos, tawuran, geng motor dan bentuk kenakalan lainnya dalam dunia remaja terjadi banyak berkaitan dengan penggunaan dunia HP. HP dengan fasilitas multifungsinya telah mampu menyajikan berbagai "menu" yang menarik. Remaja dengan mental yang belum matang telah digiring pada area terlalu luas untuk dijelajahi dengan media HP-nya. "Dunia dewasa" yang selama ini tabu dan belum pernah mereka lihat telah menjadi konsumsi keseharian dalam genggaman mereka. Mereka cekikikan dan berdiskusi tentang dunia ini, bahkan ujungnya mereka dapat terjebak dalam keinginan untuk melakukan percobaan. Penulis tidak bermaksud "mengeksekusi" HP sebagai media berpenyakit, tetapi melihat sisi lain dari dampak benda vital ini terhadap dunia remaja.

Mungkin penulis terlalu berlebihan menganggap HP multifungsi sebagi benda yang rawan digunakan negatif pada usia yang belum dewasa, pada usia yang sedang tumbuh. Sebagai praktisi pendidikan yang keseharian bersentuhan dengan dunia remaja, penulis cukup khawatir dengan kenyataan yang ada. Hasil razia HP dikalangan pelajar yang diadakan disekolah mengindikasikan banyak hal negatif yang terjadi.

Bersambung...........

DK ORIGINAL


BUKALAH MATAMU BILA ADA PEMANDANGAN YANG INDAH
BUKALAH HATIMU BILA ADA ORANG YANG MESTI DITOLONG
BUKALAH PIKIRANMU BILA ADA KESALAHAN DALAM DIRIMU
BUKALAH DOMPETMU BILA ADA UANGNYA
BERIKAN PADA MEREKA YANG TAK BERDOMPET

PANCA INDRA ADALAH PASUKAN
PIKIRAN ADALAH PANGLIMA
HATI ADALAH RAJA
AGAMA ADALAH PANDUAN
TUHAN ADALAH TUJUAN

HATI DAN PIKIRAN YANG MERDEKA
HIDUPNYA LEBIH TERBUKA