Senin, 23 Agustus 2010

REMAJA PELAJAR, HAND PHONE DAN SELEBRITIS

Pada hari jumat tanggal 11 Juni 2010 penulis menerima telepon dari wartawan senior Republika Maman Sudiaman menanyakan tentang penggunaan HP dikalangan remaja pelajar di lingkungan pendidikan setingkat SMA. Penulis berdialog menjawab beberapa pertanyaan kritis seputar remaja pelajar dan HP, sebagai praktisi pendidikan yang memahami langsung dilapangan penulis jelaskan seobjektif mungkin. Selesai dialog melalui HP penulis terdorong untuk menulis sebuah esai yang berkaitan dengan remaja pelajar dan gaya kekiniannya, semoga ada share dengan siapapun yang sempat membaca tulisan saya ini.

Dalam kamus psikologi perkembangan usia remaja adalah usia yang sangat rawan serta penuh resiko, maka dibutuhkan sebuah rekayasa positif dalam meng-guide perkembangannya. Bila pada masa remaja berhasil dilalui dengan wajar dan sesuai tuntutan perkembangan kejiwaan remaja, maka perkembangan kedepannya akan lebih baik. Sebuah fase yang tidak sederhana
bagi seorang remaja pelajar dimana dalam usia yang relatif muda ia harus memahami berbagai fenomena yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan iptek telah menciptakan kondisi sosial yang lebih heterogen dan serba menawarkan kejutan-kejutan baru yang dapat mengagetkan sosok remaja pelajar.

Perkembangan kepribadian remaja yang sedang tumbuh pesat di tengah iklim globaisasi dengan segala tren baru yang muncul sepertinya menawarkan sesuatu yang menstimulus sisi kepenasarannya untuk “mencicipi”, kondisi ini akan direspon oleh remaja dengan segala keterbatasannya. Gaya hidup produk globalisasi dan kompetisi antar bangsa di muka bumi ini disaksikan dan dirasakan sekaligus dikonsumsi oleh hampir seluruh umat manusi dan remaja pelajar yang ada didalamnya. Usia remaja masuk pada kategori sedang mencari janti diri, ia akan mengapresiasi dunia sekitarnya dan ia akan melakukan identifikasi, imitasi, pengidolaan dan mengkonsumsi sesuatu yang sedang tren. Psikolog anak dan remaja dari Empati Development Center, Dra Roslina Verauli MPsi membahasakannya dengan fase konsep diri.

Mencari jati diri dalam rangka melabeli diri dengan identitas yang pantas dan dapat diakui oleh orang lain tertanam kuat dalam usia remaja pelajar. Memetakan konsep diri pada usia remaja tidak akan berjalan baik tanpa bantuan pihak lain yang lebih dewasa. Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Kalau Hall berpendapat masa remaja adalah masa badai dan tekanan maka remaja yang sedang berada pada area ini sedang membutuhkan pertolongan dalam menyelamatkan diri dari “tekanan dan Badai” kehidupan yang dahsyat.

REMAJA PELAJAR
Siapa sebenarnya remaja itu? Dalam beberapa literature dijelaskan tidak seragam tetapi tidak terlalu mencolok perbedaanya. Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Dari literatur diatas nampak bahwa remaja adalah individu yang sedang berkembang pada fase yang sangat rawan, tidaklah heran penulis sebagai pekerja didunia pendidikan yang bergelut pada peserta didik usia remaja, merasakan benar phenomena ini. Dengan segala keterbatasan ilmu psikologi para tenaga pendidik berusaha memahami mereka dalam rangka mengarahkan agar tugas perkembangan remaja berjalan dengan wajar.
HAND PHONE
Dunia iptek yang kian maju melahirkan berbagai produk unggul dalam memberikan kemudahan pada manusia sebagai mahluk budaya. Satu produk yang sangat digandrungi remaja adalah Hand Phone, sebagai alat komunikasi yang epektif dan multifungsi. Remaja tanpa HP sepertinya ketinggalan zaman dan menderitakan, pergaulan dan pertemanan akan semakin asyik dengan media HP. Tidak heran bila kita perhatikan di rumah, sekolah, di anggkot, Mall dan dimanapun anak usia remaja ada, ia menenteng HP bahkan begitu aktif menggerakan jarinya memijit tombol HP miliknya. HP seperti menyatu pada kehidupan mereka, pengalaman penulis pernah berkomunikasi dengan orang tua siswa kelas X SMA ia menceritakan anaknya siang dan malam memainkan HP-nya seperti kecanduan. Mungkinkah HP ini menjadikan anak remaja adiksi dan “sakau” menggengam alat komunikasi? Maaf penulis mengibaratkan dalam tubuh remaja ada beberapa alat vital seperti; jantung, paru-paru, hati,mata dan mendapat tambahan satu yakni HP. HP alat “vital” baru yang melekat seperti kanker yang menempel pada badannya.

HP diciptakan untuk alat komunikasi antar manusia, maka peranan HP sangat dominan dalaam kehidupan kita karena komunikasi adalah sebuah budaya abadi sepanjang manusia ada. Segala hasil teknologi yang berhubungan dengan informasi dan komunikasi nampaknya selaras dengan kepentingan manusia kekinian. HP menjadi primadona dan barang yang sangat berharga bagi kita sebagai manusia, apalagi remaja. Sungguh mengkhawatirkan bila HP dengan segala fasilitas didalamnya dipegang dan dikendalikan oleh sosok remaja yang belum dewas. Akses bebas dunia informasi dan komunikasi menyebabakan banyak celah yang kurang baik bila pengaksesnya bukan orang dewasa. Ketidakstabilan mental dan pengetahuan yang belum cukup , akan menyebabkan remaja pada situasi yang dapat merugikan perkembangan kejiwaannya.

HP diantara sebagian remaja selain alat komunikasi dianggap sebagai aksesoris yang memperlihatkan gaya hidup bahkan strata sosial. Gaya hidup ini yang kemudian mendorong remaja untuk memiliki HP yang sedang trend dengan harga tinggi. Memiliki HP dengan harga yang tinggi menambah keberanian dan superior pribadi, sehingga pergaulan dengan teman-temannya semakin agresif dan percaya diri. Tidak disadari oleh remaja bahwa kepercayaan diri karena barang tertentu sebenarnya masuk kategori hedonis dan konsumtif. Mereka telah masuk pada kategori (maaf) Generasi Iklan, berganti-ganti model HP mengikuti tayangan televisi dan ingin dianggap up to date dan modis. Remaja kita sedang masuk pada jebakan hidup hedonis dan tercerabut dari falsafah hidup yang seharusnya lebih kreatif bukan konsumtif.

SELEBRITIS
Satu lagi bagian tak terpisahkan dari dunia remaja pelajar kita yakni sosok yang menjadi idola mereka, biasanya banyak muncul dari kalangan artis yang berbau hiburan. Ekspresi remaja yang sedang tumbuh menggelora lebih dapat tersalurkan dengan mengikuti gaya hidup seseorang yang dianggap pantas dan baik menurut ukuran subjektif mereka. Emosionalitas remaja yang sedang tumbuh kuat lebih jauh melesat kedepan dibanding rasionalitas dan kedewasaannya. Kenyataan ini menyebabkan ada beberapa hal yang terlampaui atau sengaja diabaikan, terutama yang berhubungan dengan kesantunan sosial dan budi pekerti. Sepertinya benar dan harus untuk mengikuti gaya dan prilaku artis idolanya, kalau tidak mau dianggap ketinggalan jaman atau kurang bergaul (kuber). Disebut kuber sebuah tamparan paling menyakitkan bagi remaja yang memiliki emosionalitas yang labil, apapun akan ia tempuh agar tidak mendaptkan labeling Sikuber.

Gaya ramut, berpakain dan hal lain yang menempel pada selebritis terbawa kuat pada penampilan remaja pelajar kita. Kondisi ini menjadikan satuan pendidikan cukup ribet dalam menegakan peraturan sekolah yang harus seragam dan taat aturan. Jiwa remaja pelajar yang sedang dalam usia mengidentifikasi dan mengimitasi idolanya tidaklah mudah untuk diarahkan pada identifikasi dan peniruan pada tokoh lain yang dianggap lebih baik. Apalagi remaja pelajar mengidolakan sosok selebritis yang kemudian dihadirkan di sekolahnya, lengkaplah sudah proses pengidolaan berjalan dengan kuat. Walaupun tidak semuanya negatif, masuknya group band dan selebritis ke dunia sekolahan harus disikapi secara kritis dan bijaksana mengingat usia remaja pelajar dalam fase identifikasi dan mencari idola.

Selebritis dengan segala keunikannya terkadang menjadi sebuah daya tarik dan penyebab seorang remaja pelajar untuk mengaguminya. Penulis tidak setuju menghadirkan selebritis (artis) yang muatan kompetensinya jauh dari dunia edukatif. Mengakrabkan remaja pelajar dengan selebritis memiliki resiko yang tidak ringan yang berdampak pada mentalitas dan daya juangnya sebagai seorang pelajar. Menurut Nova Jono Ariyanto (2010) selebriti seperti musisi, bintang film, tapi juga individu lain yang sering mereka lihat, atau yang disebut public figures, dianggap juga sebagai role model atau idola. Jono selanjutnya menjelaskan bahwa Selebriti sendiri, dikatakan bisa mempengaruhi 75 % fase kehidupan remaja. Apa yang dijelaskan Jono menurut hemat penulis tidaklah berlebihan mengingat bila ada selebritis idola remaja manggung maka menyemutlah remaja pelajar dihadapannya. Lebih parah lagi mental mereka yang rawan dan sedang tumbuh tak sanggup berhadapan langsung dengan idolanya ia histeris dan terkulai pingsan.

Untuk lebih melengkapi esai sederhana ini penulis mencoba memberikan solusi dan saran demi menggiring remaja pelajar Indonesia pada langkah dan mental sewajarnya sebagai seorang pelajar. Semoga dengan kiat sederhana ini remaja pelajar harapan dan masa depan bangsa ini masih dapat diselamatkan, yang harus dilakukan;

Pertama intensifikasi pendidikan informal sebagai fondasi mental awal remaja pelajar. Orang tua dan lingkungan rumah yang kondusif dan well educated akan memberikan fondasi yang kuat terhadap mental remaja pelajar. Kedekatan orang tua dan kualitas komunikasi yang baik, humanis, serta penuh keteladanan akan mengurung mental negatif remaja untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Orang tua yang mampu meng-guide perkembangan psikologi remaja dengan segala bentuk prilakunya secara tidak langsung telah menjadi teman yang diidolakannya.

Kedua maksimalisasi pendidikan formal, maksudnya adalah mengupayakan setiap satuan pendidikan untuk membangun lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja pelajar. Budaya kerja yang baik pada satuan pendidikan akan berimbas positif terhadap mental remaja pelajar. Tugas dan fungsi sebagai remaja pelajar akan lebih dapat difahami oleh peserta didik dengan satuan pendidikan yang berkualitas. Lingkungan yang edukatif dan demokratis serta mencerdaskan pada satuan pendidikan akan mendewasakan remaja pelajar lebih cepat. Tumbuhnya kedewasaan yang distimulus oleh lingkungan pendidikan menjadi fondasi dan bekal bagi remaja pelajar untuk gaul pada dunia diluar sekolah. Resistensi yang baik terhadap segala hal baru yang didapatkan dilingkungan masyarakat dapat dipompakan oleh tenaga pendidik disekolahnya. Pengetahuan remaja pelajar yang diperoleh dari gurunya sebagai ongkos melintasi tantangan eksternal dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga apresiasi sosial, maksudnya adalah setiap warga masyarakat hendaknya memiliki cukup kepedulian dan wawasan dalam menghargai setiap langkah remaja pelajar. Segala kekurangan mereka seharusnya diapahami bersama sebagai sebuah proses yang belum selesai, masyarakat bertanggungjawab untuk ikut berpartisipasi dalam mengawal tugas perkembangan mereka. Sebuah misi ideal dan tidak mudah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat akan eksistensi remaja pelajar. Remaja pelajar adalah anak dari masyarakat yang sedang tumbuh dan meminta perhatian masyarakat sebagai wilayah belajar kedewasaannya.

Demikian tulisan ini saya buat semoga ada manfaatnya, minimal membuat pembaca mau mengkritik dan tersenyum untuk memaknainya. Pepatah bijak mengatakan bangsa yang tidak peduli dan kurang memperhatikan masa depan generasi mudanya (remaja pelajar) adalah bangsa yang biadab, karena generasi muda menentukan keberlangsungan sebuah bangsa. Membicarakan generasi muda (remaja pelajar) adalah sebuah diskursus tentang masa depan sebuah bangsa. Mari kita menanam kebaikan dinegeri ini dengan inten dan apresitaf terhadap masa depan bangsa kita yakni remnaja pelajar. Apatisme kita pada remaja pelajar __yang sedang dikepung oleh globalisasi dengan segala dampaknya__ akan melahirkan dampak jangka panjang pada bangasa in.