Minggu, 01 Mei 2011

JANGAN PERCAYAKAN PENDIDIKAN PADA SEKOLAH


Oleh : Dudung Koswara
Praktisi, pengamat pendidikan


“Jangan percaya pada guru, guru memiliki kemampuan yang terbatas serta terlalu banyak siswa yang dididiknya, nama anak kita saja belum tentu ia tau apalagi hal lainnya, kitalah yang harus selalu mendampingi dan mengarahkannya, siswa bukan anak guru tapi anak kita.” Ungapan ini masih penulis ingat sampai sekarang ketika dua orang ibu rumah tangga berdialog di trotoar super market Ramayana Sukabumi, Desember tahun 2009. Sebuah dialog yang menarik tentang peranan orang tua dalam mendidik anak. Dua ibu rumah tangga ini menyimpulkan bahwa dunia pendidikan tidak berperan banyak dalam menentukan masa depan anaknya, yang paling penting dalam menentukan masa depan anak adalah polarisasi orang tua dan pendidikan keluarga yang baik.
Pemikiran yang kritis dan solutif kedua orang tua ini mengambil porsi dominan pada peranan orang tua dalam mendidik anaknya, dengan tidak mengandalkan pada institusi formal. Kedua orang tua ini identik dengan sitiran Robert Kiyosaki yang mengatakan bahwa ada banyak hal penting yang tak diajarkan di sekolah. Dalam sistem pendidikan skolastik, melakukan kesalahan adalah sesuatu yang buruk. Padahal, melakukan kesalahan adalah juga sebuah cara untuk mematangkan diri dan bagian dari proses belajar yang sangat urgen.

Penulis sebagai praktisi pendidikan berpikir seandainya semua orang tua memiliki tanggung-jawab sebesar itu, dunia pendidikan formal (satuan pendidikan) akan lebih mudah dalam mendidik siswanya, karena ada langkah proaktif dari orang tua. Menyimak pembicaraan dua ibu rumah tangga diatas penulis ingat sindiran kritis Robert Kiyosaki yang menjelaskan bahwa siswa masuk sekolah bukan dididik oleh gurunya tetapi dididik oleh teman-temannya. Ada benarnya bahwa siswa / peserta didik lebih memahami apa yang disampaikan teman-teman sebayanya dibanding apa yang disampaikan oleh gurunya. Teman-temannya lebih dapat “mendidik” seorang siswa dalam artian mampu memberikan pengaruh yang lebih kuat. Masalahnya adalah sejauh mana pendidikan teman sebaya bergerak pada arah yang positif dibanding gurunya yang sudah berpengalam walau berbeda usia?

Kedekatan usia dan kedekatan emosi akan berpengaruh terhadap komunikasi dan interaksi, sehingga “transfer of knowledge” dari rekan peserta didik akan lebih mudah ditangkap. Peranan guru dalam mendidik siswanya berbenturan dengan jumlah siswa, kelelahan, kesibukan, keluarga, karier dan kadar profesionalitasnya. Ada “jarak” yang tak disengaja antara guru dan siswa didiknya, inilah yang membuat pengajaran dan pendidikan berjalan agak formalistik. Masalah ini di minimalisir dengan proses pembentukan kelompok belajar, agar peserta didik dapat share denga rekan sebayanya. Membuat kelompok belajar (learning community) diantara mereka yang di fasilitasi oleh guru merupakan solusi “memanfaatkan” kedekatan peserta didik dengan peserta didik yang lain. Teman sebaya dalam kamus sosiologi memiliki peranan yang tidak sedikit dalam perkembangan kepribadan seorang remaja pelajar.

Sekolah Hanya 7 Jam, di Rumah 17 Jam
Terlalu mengandalkan sekolah dalam mendidik anak dan menganggap sekolah sebagai tempat yang paling bertangung-jawab dalam mendidik anak adalah sebuah paradigma yang keliru. Anggapan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mampu merubah setiap anak menjadi lebih berbudi pekerti dan lebih pintar tidaklah bijaksana, mengingat intensitas waktu lamanya anak sebagai peserta didik di satuan pendidikan berbeda dengan lamanya anak sebagai warga rumah di institusi informal keluarga. Nabi Muhammad menjelaskan mau dijadikan Nasani, Yahudi dan Majusi seorang anak tergantung kedua orang tua sebagai pemilik “kurikulum” pendidikan keluarga. Tidak ada pepatah yang mengatakan anak mau dijadikan apapun tergantung gurunya di sekolah.

Hanya 7 jam peserta didik di sekolah dan 17 jam ada di rumah, maka orang tua alangkah bijaknya bila mengevaluasi setiap hari anaknya mengingat banyanya waktu yang tersedia di area keluarga. Rumah adalah base cam tetap dan sekolah adalah tempat sementara hanya sementara sebatas menimba ilmu pengetahuan(education transit). Dunia sekolah yang hanya 7 jam itu lebih banyak pada pengasahan kognitif yang berbau pelajaran, hal yang berhubungan dengan pendidikan dalam artian budi pekerti posisinya minor dan terbatas. Pakar pendidikan Prof. Dr. Arif Rahman menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia lebih banyak menekankan pada pengajaran, bukan pada pendidikan.Satuan pendidikan lebih memiliki porsi intelektual dibanding pendidikannya, maka ujung dari proses pembelajarn selama tiga tahun diakhiri dengan diberikannya sebuah buku raport dan selembar izajah.

Sekolah Bukan Tempat Penitipan Anak.
Orang tua yang sibuk dan abai terhadap kepentingan pendidikan anak terkadang menganggap sekolah sebagi tempat penitipan anak , daripada anak ada diluar sekolah akan lebih merisaukan mereka. Kadang orang tua mengatakan , “Silahkan anak saya mau diapakan juga terserah sekolah, saya sebagai orang tua sudah putus harapan, dan akan mengikuti apa saja keinginan sekolah.” Orang tua semacam ini menganggap sekolah sebagai “karantina” peserta didik yang akan mengamankan anaknya dari pergaulan dan suasana luar sekolah yang tak dapat dipertanggung-jawaban. Orang tua akan lebih tenang dan dapat mengkomplain sekolah bila ada sesuatu yang terjadi dengan anaknya, pada saat anaknya berada dalam lingkungan sekolah atau keluar dari lingkungan sekolah. Sebagian orang tua yang kurang paham dengan peranan sekolah menganggap sekolah bertanggung-jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan anaknya. Hal ini menjadi beban bagi sekolah sebagai lembaga formal yang harus melayani kemauan orang tua peserta didik denga segala keterbatasan wawasannya.

Kesibukan bekerja dan keterbatasan pengetahuan orang tua dalam memahami peranan dan tanggung-jawab mendidik anaknya , menjadikan sekolah ketiban tanggung-jawab yang lebih berat dari seharusnya (oper load). Tidak sedikit orang tua yang menyalahkan sekolah ketika terjadi sesuatu dengan anaknya, padahal sebenarnya sesuatu yang terjadi itu sangat berkaitan dengan peranannya sebagai orang tua. Pendapat Agung Piniji sekolah berubah menjadi TPA (Tempat Penitipan Anak) bahkan segalanya diserahkan pada sekolah, attitude dan pendidikan (education) orang tua menentukan bagaimana ia memperlakukan anak.

Keluarga pendidikan pertama dan utama.
Setiap anak lahir tidak di ruang sekolah dan tidak tidur di sekolah, rumah dan keluargalah tempat setiap anak lahir dan dibesarkan. Dari rumah dan keluargalah sebuah generasi “dicetak” menjadi manusia yang ungul, keluarga menjadi area pendidikan pertama dan utama. Dalam ajaran Kong fu tse ditekankan tentang pentingnya peranan orang tua dalam mendidik anak, pentingya kesantunan anak pada orang tua, pentingnya keharmonisan dalam keluarga serta pentingnya kesetiaan pasangan suami istri. Kondisi keluarga yang memiliki komitmen dan kedisiplinan yang baik pada budi pekerti dan keteladanan akan melahirkan generasi yang unggul. Pesan Sherri Linsenbach __Penulis The Everything Home schooling Book__ mengatakan Anda tidak harus menjadi guru profesional ketika Anda ingin menyekolahkan putera-puteri Anda di rumah. Anak-anak adalah pembelajar alamiah, sementara Anda sendiri, sebagai orang tua, adalah guru-guru alamiah.” Linsenbach memberikan dorongan pada orang tua untuk percaya diri dalam mendidika anak di lingkungan rumah.

Pendidikan keluarga jauh lebih dulu__buhun kata orang Sunda__ dibanding pendidikan formal, orang tua zaman dulu mengutamakan pendidikan keluarga sebagai pendidikan terpenting. Pendidikan keluarga memungkinkan penggalian potensi anak secara maksimal, merujuk Undang-undang no 23 tahun 2003 pendidikan keluarga masuk pada kategori pendidikan informal yang dilaksanakan keluarga dan lingkungan. Seorang anak yang dididik dilingkungan keluarga dapat memiliki ijazah dengan mendaftarkan diri di PKBM dan mengikti ujian persamaan.Menurut DR Seto Mulyadi (Kak Seto), orang tua zaman sekarang sudah mengabaikan pentingnya pendidikan keluarga, orang-orang hebat sekaliber Agus Salim, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara adalah produk dari pendidikan keluarga yang baik. Ungkapan pakar pendidikan nasional ini tidak sebatas seruan dan teori, Kak Seto mendidik dua anakanya dalam pendidikan keluarga (home schooling) bahkan ia mengarang buku pendidikan keluarga dalam sampulnya ia menuliskan, “Buku Panduan Praktis dan Siap Pakai: Home Schooling Keluarga Kak Seto – Mudah, Murah, Meriah dan Direstui Pemerintah“.

Jangan Mengandalkan Guru
Tidak terlalu menganggap guru sebagai sosok yang paling bertanggung-jawab dalam mendidik dan mencerdaskan anak/peserta didik merupakan sikap antisipatif dalam merespon kepentingan masa depan anak. Guru adalah fasilitator formal dalam mendidik dan membimbing peserta didik dalam waktu yang terbatas dan area yang terbatas pula. Keterbatasan seoran guru dalam mendidik siswanya sebaiknya difahami setiap orang tua sebagai pemakai jasa guru dalam dunia pendidikan formal. Bila semua orang tua memahami keterbatasn guru sebagai tenaga pendidik maka setiap orang tua peserta didik akan melakukan langkah-langkah antisipatif dalam mendidik anaknya. Guru adalah intsruktur pendidikan, sementara orang tua adalah sutradara utama dalam memberikan skenaro unggul bagi anaknya.

Tidak mengandalkan guru dalam pendidikan anak bukanlah sebuah kesalahan tapi sebuah kepahaman dalam memahami tugas orang tua sebagai “pemilik” anak yang akan menentukan kemana dan jadi apa anaknya kemudian. Orang tua yang apatis dan tidak paham dengan pendidikan dan bagaimana mengarahkan anaknya, biasanya terlalu mengandalkan seorang guru di sekolah, sebuah kesalahan yang dapat berakibat jangka panjang. Mendidik anak yang memiliki karakter ada pada keluarga. Pater Drost menjelaskan orang tua tidak seharusnya melepaskan perannya sebagai pendidik yang utama. Dalam sehari, anak berada disekolah dalam beberapa jam saja. Selanjutnya dia kembali ke rumah dan di didik kembali oleh orang tuaya. Di sini sekolah tidak seharusnya mengambil alih peran orang tua sebagai pendidik (karena sebenarnya sekolah juga tidak akan mampu untuk tugas berat itu mengingat terbatasnya waktu), tetapi hanya berperan sebagai pembantu orang tua di dalam mengajar anak-anak mereka. Drost selanjutnya mengatakan sekolah adalah tempat untuk mengajar dan juga untuk mendidik, tetapi pendidikan bukanlah merupakan tugas utama sekolah maupun guru. Pendidikan sebenarnya merupakan tanggung jawab orang tua dan keluarga.

Anak Titipan Tuhan, Bukan Tanggung Jawab Sekolah.
Ajaran agama memberikan tangung-jawab pada setiap orang tua bahwa anak adalah titipan Tuhan, segalanya akan dipertanggung-jawabkan dihadapan_Nya. Anak adalah “anugerah terindah” dalam sebuah keluarga, anak adalah spirit dan keajaiban dalam rumah tangga. Kesakralan dan berharganya seorang anak memberikan konsekuensi serius pada semua orang tua untuk mendidiknya secara utuh dan bijaksana. Disini sepertinya ada lingkaran tanggung-jawab yang semakin berat pada orang tua dibanding sekolah. Guru bertangung-jawab pada orang tuanya selama disekolah, orang tua bertanggung-jawab pada Tuhan selama ia belum dewasa.Ini adalah lingkaran peran antara sekolah dan orang tua peserta didik. Anak didik pada hakekatnya adalah milik Tuhan yang tanggung-jawab terberatnya ada pada orang tuanya, guru di sekolah hanya sebatas tugas formal sebagai aparatur negara yang bergerak pada area pendidikan. Sementara orang tua memiliki “SK” dari Tuhan sebagai penanggung-jawab utama.

Semua guru adalah orang tua paedagogis bukan orang tua biologis bagi siswanya, maka siswa adalah titipan dari orang tua biologis yang ada di luar sekolah. Guru di sekolah dengan segala kemampuanya akan melayani peserta didik sebagai titipan orang tua pengguna jasa pendidikan. Tugas sekolah dan guru sebagai lembaga formal dapat dipertanggung-jawabkan umumnya hanya sebatas kenaikan, kelulsan , raport dan ijazah. Peserta didik adalah titipan orang tua yang akan dikembalikan setelah sekian tahun belajar dan menyelesaikan tugasnya. Ketika anak / peserta didik sudah lulus dan diwisuda di satuan pendidikannya, maka secara formal selesailah tugas sekolah dan guru. Dikembalikanlah anak sebagai titipan orang tua ketika sudah lulus, atau bahkan ketika anak tidak mampu mengikuti semua pembelajaran / aturan sekolah.

Anak Mutiara Yang Ditinggalkan Disekolah
Pada zaman sekarang ada sebagian orang tua yang menganggap anak sebagai “asesoris” keluarga, pemanis, pelengkap dan ada yang menjualnya. Perlakuan tidak bijaksana dan kurang manusiawai pada anak secara tidak langsung banyak terjadi pada orang tua zaman sekarang, contoh kasus trafficking yang pernah heboh di negara kita adalah karena edukasi keluarga yang abai. Mengekspoiltasi anak dalam pekerjaan, serta kasus kekerasan pada anak banyak terjadi di negeri kita. Contoh lain anak-anak usia sekolah di Cigondewa – Bandung lebih memilih mencari nafkah daripada sekolah. Tidak sedikit data tentang perlakuan tidak manusiawi pada anak. Dalam strata ekonomi / sosial yang baik perlakuan menyimpang pada anak adalah memanjakan, segala di fasilitasi tetapi komunikasi dan edukasi keluarga diabaikan, keluarga semacam inilah yang menganggap sekolah sebagai solusi “ menitipkan” anaknya yang tidak sempat dididik dikeluarga.

Menurut penulis sebenarnya anak adalah “mutiara” dalam sebuah keluarga tidak dapat ditukar dan diperlakukan seenaknya. Dalam sinetron “Keluarga Cemara” dikumanadangkan sebuah lagu yang syairnya berbunyi…… harta yang paling berharga adalah keluarga….mutiara tiada tara adalah keluarga…dst.Bila kita maknai syair lagu ini memiliki banyak makna tentang berharganya keluarga, dan didalamnya ada yang jauh lebih berharga yakni anak. Sayang zaman sekarang banyak orang tua yang abai pada anaknya dan lebih mengejar karier, jabatan, harta, perusahaan, uang bahkan wanita. Anak yang diabaikan oleh orang tua menurut penulis adalah mutiara yang ditinggalkan. Lagi-lagi sekolah dianggap sebagai area yang layak untuk dipercaya, dititipi, diberi tanggung-jawab untuk mendidik anak-anak mereka yang “ditinggalkan.” Sekolah telah mendapatkan “limbah” pendidikan keluarga.

Alternatif Mendidik Anak
Bila kita meniru bangsa Cina maka ada pola pendidikan “superior”, munculnya buku ‘Battle Hymn of the Tiger Mother‘ karangan Amy Chua, seorang profesor sekolah hukum dari Yale Law School, merepresentasikan pendidikan Cina yang disiplin. Tulisan ini menceritakan bagaimana ibu-ibu di China atau keturunan China dengan didikan kerasnya mampu membuat anaknya berhasil. Anak-anak dilarang main game dan nonton TV, menginap di rumah teman, harus mendapat nilai A, harus les biola atau piano. Mendidik dengan disiplin dan kontrol orangtua yang besar menurut Amy juga dilakukan orangtua keturunan Korea, India, Jamaika, Irlandia dan Ghana.

Sebagian besar ibu keturunan China mengatakan bahwa mereka percaya anak-anaknya dapat menjadi siswa ‘yang terbaik’ karena ‘prestasi akademik mencerminkan orangtua yang sukses mendidik’ dan ‘jika anak-anak tidak unggul di sekolah itu artinya ada masalah pada orangtua kenapa anak tidak mengerjakan tugasnya’. Orang tua China menghabiskan 10 kali lebih lama waktunya untuk terlibat dan memantau aktivitas akademik anak-anaknya. Amy juga mengatakan ketika orangtua China menerapkan disiplin dan pola didik yang terkontrol, anak-anak China juga akan menolak. Namun kuncinya, kesabaran orangtua untuk mendampingi anak karena memang akan sulit dijalani di masa-masa awal.

Orangtua China bisa melakukan seperti itu karena tradisi China men-stigma anak-anak berutang ke orangtuanya yang telah berkorban banyak sehingga mereka harus membayarnya dengan prestasi dan kebanggaan serta rasa hormat kepada orangtua. orangtua China percaya bahwa cara terbaik untuk melindungi anak-anak mereka adalah dengan mempersiapkan masa depan mereka, membekali anak dengan keterampilan, kebiasaan kerja yang tekun dan disiplin, dan keyakinan batin yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya.

Bila kita meniru Barat/Amerika yang lebih liberal salah satu penelitian terhadap 50 ibu di Amerika hampir 70 persen ibu-ibu barat mengatakan bahwa ‘menekankan keberhasilan akademis tidak baik untuk anak-anak’ karena yang terpenting ‘orang tua perlu mendorong ide bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan’ Tipikal orangtua Barat yang cenderung menyerah pada kemauan anak ketika anak menolak, anak-anak Barat lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan dan tim olahraga ketimbang prestasi akademik.

Orangtua Barat hanya meminta anaknya mencoba melakukan yang terbaik. Mereka akan berhati-hati untuk tidak membuat anak mereka merasa tidak mampu dan tidak akan pernah memanggil anaknya dengan sebutan ‘bodoh’, ‘tidak berguna’ atau ‘memalukan’.Orang tua di Barat tidak berpikir anak mesi membalas utang budi kebaikan rang tua. Anak-anak tidak memilih orang tuanya dan bahkan mereka tidak memilih untuk dilahirkan sehingga anak-anak tidak berutang apa-apa. Tugas mereka adalah membuat anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Orangtua Barat mencoba untuk menghormati individua anak-anaknya, mendorong mereka untuk mengejar keinginan mereka, mendukung pilihan mereka, dan memberikan dukungan dan lingkungan yang positif.

Bila kita meniru orang Yahudi, ada Tesis Dr. Stephen Carr Leon yang berjudul “Why the Jews so smart” yang memakan waktu hampir delapan tahun, dapat menjadi komparasi pendidikan kita pada anak. Bagaimana orang Yahudi mendidik anaknya? Apa sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa Tuhan memberi kelebihan kepada mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri? Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk Phd-nya. Mari para orang tua untuk mengkaji narasi tesis Leon.

Pertama. Dimulai dari persiapan awal melahirkan. Di Israel, setelah mengetahui sang ibu sedang mengandung, sang ibu akan sering menyanyi dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan menyelesaikan soal bersama suaminya, ini dilakukan Ibu Yahudi untuk anak yang masih di kandungan, melatih otaknya, berharap kelak ia menjadi jenius, tanpa merasa jenuh si calon ibu mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan.

Kedua cara makan, sejak awal mengandung sang ibu suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu. Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang-kacangan. Menurut wanita Yahudi , daging ikan sungguh baik untuk perkembangan otak dan kepala ikan mengandung kimia yang tidak baik yang dapat merusak perkembangan dan penumbuhan otak anak didalam kandungan. Ini adalah adat orang orang Yahudi ketika mengandung, menjadi semacam kewajiban untuk ibu yang sedang mengandung mengonsumsi pil minyak ikan.Mereka gemar sekali memakan ikan (hanya fillet-nya), biasanya kalau sudah ada ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada bersama di satu meja. Menurut keluarga Yahudi, campuran daging dan ikan tak bagus dimakan bersama. Salad dan kacang, harus ada dimeja makan, terutama kacang badam.

Mereka akan makan buah buahan dahulu sebelum hidangan utama. Jangan terperanjat jika anda diundang ke rumah Yahudi anda akan dihidangkan buah buahan dahulu. Menurut mereka, dengan memakan hidangan karbohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah buahan, ini akan menyebabkan kita merasa ngantuk. Akibatnya lemah dan susah untuk memahami pelajaran di sekolah.

Ketiga di Israel, merokok adalah tabu (Indonesia?), apabila Anda diundang makan dirumah Yahudi, jangan sekali kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh Anda keluar dari rumah mereka, menyuruh anda merokok di luar rumah mereka. Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak (bodoh).

Keempat mereka sangat memperhatikan makanan, makanan awal adalah buah-buahan bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil lever). Anak Yahudi rata rata mereka memahami tiga bahasa, Hebrew, Arab dan Inggris. Sejak kecil mereka telah dilatih bermain piano dan biola. Ini adalah suatu kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not musik dapat meningkatkan IQ. Menurut ilmuwan Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak. Tak heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.
Kelima. Bidang pendidikan, saat di sekolah dasar anak anak Yahudi, sudah diajarkan matematika berbasis perniagaan, juga pelajaran IPA sangat diutamakan. Segala pelajaran akan dengan mudah di tangkap oleh anak Yahudi. Selain dari pelajaran utama, pelajaran ekstrakurikuler seperti olahraga juga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga yang diutamakan adalah memanah, menembak dan berlari. Memanah dan menembak dapat melatih otak fokus. Disamping itu menembak bagian dari persiapan untuk membela negara.

Murid-murid disana dilatih secara intensif dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk menciptakan produk dengan serius. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu. Apa lagi kalau yang diteliti itu berupa senjata, medis dan teknik. Ide itu akan dibawa ke jenjang lebih tinggi. Mereka belajar ekonomi. Diakhir tahun di universitas Israel, mahasiswa diharuskan mengerjakan proyek bisnis. Mereka harus memperaktekkanya, dan akan lulus jika kelompok anda (10 mahasiswa setiap kelompok) dapat keuntungan sebanyak $US 1 juta! juga jangan heran kalau universitas-universitas di Amerika terutama jurusan bisnis, banyak orang Yahudi-nya.
Belajar dari Jepang, Jepang adalah bangsa yang terkenal dengan kedisiplinan dan kegesitannya, ternyata menurut Prof Dr Daoed Jusuf adalah peran “Kyoiku Mama”. Peran seoran ibu di Jepang sangat menentukan peradaban bangsa Jepang. Jadi pendidikan bangsa Jepang keberhasilannya karena pendidikan keluarga yakni peran Kyoiku Mama/ibu dalam mendidik anaknya. Kesuksesan Bangsa Jepan adalah jasa dari pendidikan ibu-ibu dalam keluarga Jepang. Ketika Daoed Jusuf bertanya pada seorang Guru di Jepang tentang kedisiplinan dan ketaatan pelajarnya , mereka menjawab itu semua berkat pendidikan ibu-ibu mereka dirumahnya.

Falsafah ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) dipegang teguh di Jepang. Kulturnya menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paro kedua abad XX, peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Menurut Tony Dickensheets, hal ini merupakan “a purely Japanese phenomenon”.

Menurut penulis alangkah bijaknya bila semua orang tua lebih memperhatikan anaknya dalam belajar daripada memperhatikan, HPnya, Motornya, Mobilnya dan hal lain yang tidak berhubungan dengan masa depannya. Kasih sayang, kedisiplinan, keteladanan, pengetahuan, dan keberanian mesti ditanamkan sejak dini. Usia emas anak (golden age) harus dimanfaatkan oleh semua orang tua alam menanamkan pendidikan yang maksimal. Menurut Psikolog Anak, Desni Yuniarni, masa "golden age" otak anak berkembang sangat cepat sehingga informasi apapun akan diserap, tanpa melihat baik atau buruk. Selanjutnya Desni menganjurkan "Yang penting kita sebagai orangtua harus menunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak suka meniru orang-orang terdekatnya.” Anak adalah peniru ulung, segala hal yang didengar, dilihat, dan ditemukan dalam kehidupannya akan berpengaru terhadap tingkah-lakunya.

Sekolah itu perlu untuk anak didik tapi belajar lebih penting dari sekolah, maka peranan orang tiua dalam keluarga mendidik dan mengajarkan kehidupan adalah proses belajar yang lebih berarti daripada sekolah formal. Belajar apalagi ketika sekolah-sekolah kita makin tereduksi hanya menjadi lembaga pengajaran dan meninggalkan label lembaga pendidikan. Yang terjadi di sana adalah transfer pengetahuan dan bukan transfer keilmuan. Alfred Noble, Einstein, Soekarno, adalah juga sederet akademisi yang banyak menuai hasil keilmuannya. Thomas A. Edison, Bill Gates, Michael Dell, Ted Turner, juga sederet orang yang dengan penuh nyali menyambar sukses dan keluar dari sistem skolastik untuk menjadi otodidak. Kita dapat belajar dari beberapa tokoh yang lahir dari dunia autodidiak dan dunia akademik.

Pada dasarnya menurut Marjohan, M.Pd. anak mau dibawa kemana terseah orang tua, karena orang tua merupakan guru pertama yang dikenal anak. Sebagai guru pertama bagi anak, maka mereka (ayah dan ibu) mengajar dan menumbuh- kembangkan pribadi anak mulai dari belajar berbicara (berbahasa), belajar bejalan, belajar makan, belajar bersosial sampai kepada belajar bermoral atau bersopan- santun. Cita- cita yang diperkenalkan orangtua pada mereka, saat masih kecil sungguh sangat mulia, yaitu seperti: ”bila anakku besar kelak moga- moga bisa menjadi orang yang brguna bagi nusa, bangsa dan agama”.

Sepemikiran dengan Marjohan tentang petingnya peranan orang tua,Emmi Khairani menjelaskan bahwa bila negeri ini ingin mempunyai generasi pemimpin berkualitas yakni, negarawan-negarawan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, keamanan, dan kemuliaan rakyatnya, bahkan negarawan-negarawan yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mulia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia di masa datang, maka para ibu di negeri ini harus difungsikan peran utamanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kalau penulis boleh tambahkan(HR.At-Tirmidzy). “Tidak ada pemberian orang tua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik” Sebuah pesan yang jauh hari sebelumnya menekannka pentingnya peranan pendidikan keluarga. Mengandalkan sekolah formal untuk mendidik anak adalah tidak bijaksana, mengingat segala kelemahan dan keterbatasannya. Sebagai jalan keluar mungkin kolaborasi guru dan orang tua sangat diperlukan agar bisa memotivasi anak untuk belajar keras sejak dari SD sampai ke tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi.
Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar