Selasa, 29 September 2009

CITRA PENDIDIKAN VS “PENCITRAAN PENDIDIKAN

Oleh : Dudung Koswara
Mental ingin kesohor dan politik mercusuar menggejala secara kolektif pada bangsa kita. Nampaknya citra diri setiap individu yang ingin dilihat lebih baik dari sebenarnya telah merambah pada area institusi dan birokrasi pemerintahan. Dunia pendidikan mau tidak mau terkena imbas mental kolektif ingin kesohor, maka tidak heran ketika ada pilihan citra yang baik atau proses pendidikan yang baik? Dari realitas setiap satuan pendidikan mengindikasikan memilih citra di atas segala-galanya, proses pendidikan telah menjadi mayat yang masih bernapas. Proses sepertinya tidak dapat dilihat dan di dengar oleh masyarakat pengguna pendidikan tetapi predikat dan nama baik sekolah menjadi iklan efektif dalam menjerat siswa baru di sekolah. Maka perlombaan nama atau predikat sekolah menjadi lebih utama daripada pembenahan luar dalam sekolah.

Munculnya predikat sekolah, RSSN, SKM, SSN, RSBI, SBI, dan lain-lainnya telah menjadi pelabelan yang harus cepat tanpa mengevaluasi proses dan kemampuan secara objektif. Predikat sekolah menjadi sebuah proyek dan bukan menjadi sebuah objek pembenahan bersama. Gaya lebih didahulukan daripada kompetensi itulah Indonesia. Kalau sebuah satuan pendidikan sudah tidak dilirik oleh masyarakat sebagai pengguna pendidikan maka hal ini secara tidak langsung sekolah siap untuk gulung tikar, predikat dan pelabelan status sekolah adalah lebih ditujukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat pengguna bukan untuk akuntabilitas objektif satuan pendidikan.
Citra pendidikan yang sebenarnya telah terdistorsi dan ternodai oleh pencitraan pendidikan /proyek predikatisasi satuan pendidikan itu sendiri. Indonesia menurut penulis adalah negeri yang hebat , kalau Amerika membuat film tentang pendidikan maka negeri kita Indonesia membuat film (drama) di pendidikan. Penulis punya teman yang berkata, kalau Bagdad punya Kisah 1001 Malam, maka Indonesia punya Kisah 1001 Cara. Teman penulis seolah-olah mengatakan bahwa Indonesia walaupun tidak bisa apa-apa tetapi punya banyak cara agar kelihatan seperti bisa apa-apa. Bangsa kita menganggap lebih penting kelihatannya daripada realitasnya, luar biasa mungkin filosofi gambar mewakili seribu kata-kata telah diaflikasikan dalam dunia pendidikan secara “seperti tepat”.

Filosofi pendidikan untuk mencerdaskan manusia , memanusiakan manusia agar berprilaku manusiawi cerdas dan kompeten nampaknya jauh panggang daripada api. Akan lahir satu generasi yang masuk pada prodak “berguru kepalang ajar bagai bunga kembang tak jadi”, taman pendidikan Indonesia tak berbunga dan tak berkembang, penuh gambut dan gersang.

Ada beberapa teman kuliah penulis di pasca sarjana yang mengatakan dunia pendidikan kita sekarang terlalu diobok-obok oleh kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dia mencontohkan PSB harusnya menjadi modal awal rekruitmen siswa baru yang berkualitas, kenyataanya PSB menjadi ajang kepentingan politik yang telah mengkebiri kepentingan satuan pendidikan. Semua oknum yang memiliki autoritas dan power di masyarakat bermain seenaknya. Kepala sekolah adalah korban paling tragis diantara berbagai kepentingan yang dipaksakan.

UAN seharusnya menjadi hajatan sakral sekolah dalam rangka menanamkan spirit belajar pada siswa bahwa kelulusan adalah hasil dari roses belajar yang maksimal. Kenyataannya UAN telah dijadikan hajatan karier bagi oknum-oknum terkait dalam rangka mensukseskan pencitraan keberhasilan proses pendidikan. Dalam UAN dunia keajaiban dapat terjadi anak paling malas dan nakal dapat nilai terbaik, sebaliknya siswa paling jujur dan pintar nilai terendah bahkan tidak lulus. Bobrok di awal , susah diproses dan busuk di ujung. Oh Indonesiaku bagaimana nasibmu kedepan. Apa yang akan dikatakan Soekarno dan Hatta melihat kondisi pendidikan seperti ini.

Kamis, 03 September 2009

ANEKSASI

LAGU TRADISI DI KLAIM
LAGU INDONESIA RAYA DILECEHKAN
WILAYAH DICAPLOK


Ketika saya dulu kuliah di IKIP bandung pada tahun 1992 saya punya empat orang teman dari Malayasia, mereka sangat santun dan tidak memperlihatkan sikap dan hal-hal yang tidak baik. Persaudaraan dan pertemanan sebagai rekan kuliah berjalan sesuai dengan pergaulan standar mahasiswa saat itu.

Kalaulah teman kuliah saya merepresentasikan Bangsa Malayasia saya tidak yakin dengan sikap dan prilaku Bangsa Malayasia kali ini. Beberapa kali saya mengamati tentang adanya klaim Malayasia terhadap wilayah dan hak budaya dan intelektual Bangsa Indonesia, Malayasia seperti anak kecil merengek-rengek meminta permen yang sedang kita makan, Malayasia seperti menirukan lagu yang kita tembangkan, Malayasia seperti anak kecil yang meniru-niru kita ketika kita sedang menari atau berjoget. Persis dalam ilustrasi saya Malayasia adalah anak kecil yang sedang belajar meniru dan mengakui segala yang ada didekatnya seperti miliknya sendiri. Ini sebuah kondisi yang sedang berkembang di negeri yang serumpun dengan kita dan tetangga dengan kita. Sangatlah tidak mungkin kalau Malayasia meniru atau mengklaim sesuatu yang berbau Amerika atau Rusia, selain jauh juga tidak bertetangga dan tidak serumpun bukan dalam jangkauannya. Hal yang paling mudah adalah Indonesia Negara yang paling dekat serumpun dan dianggap sedang kurang konsentrasi dalam memelihara dirinya.

Kalaulah anak kecil yang melakukan berbagai kesalahan terhadap kita sangatlah wajar dan biasa tetapi kalaulah sebuah bangsa mengklaim dan menyinggung bangsa yang lain ini baru sebuah kondisi yang bisa berbahaya. Dalam era globalisasi sekarang ini segala yang terjadi akan segera terakses oleh seluruh bangsa-bangsa lain dimanapun berada , apa yang terjadi pada bangsa kita dan apa yang bangsa kita lakukan akan terakses oleh bansa yang lain.