Kamis, 28 April 2011

MEREFLEKSI UJIAN NASIONAL


Oleh : Dudung Koswara
(Praktisi, pengamat pendidikan Kota Sukabumi)


Hajat nasional untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahuan (knowledge) selama menjadi peserta didik di satuan pendidikan berlalu sudah. Berlalunya Ujian Nasional bukan berarti berlalunya wacana tentang perjalanan dan prosesnya, menyisakan banyak hal yang perlu kita kritisi bersama. Ujian Nasional (selanjutnya UN) sejak pertama di gulirkan menjadi diskursus hangat di masyarakat kita, baik dari kalangan pendidik maupun non pendidikan. Wajar dan pasti UN menjadi perhatian bersama karena selain melibatkan peserta didik se-Indonesia juga menggunakan anggaran negara yang sangat besar. Anggaran Ujian Nasional tingkat SMA sederajat tahun 2010/2011 menelan Rp. 580 miliar. Dana sebesar itu bukan hanya untuk kertas ujian, namun untuk mencetak soal, biaya pengawas, koreksi dan lainnya.Dengan anggaran ini, setiap anak dibiayai Rp. 50 ribu. Untuk UN Jawa Barat saja menelan biaya sebesar 54 milyar, sebuah anggaran yang fantastis. Wajar bila UN menjadi wacana bersama karena melibatkan hampir semua orang tua, peserta didik, dan anggaran negara (anggaran milik rakyat).

Beberapa tahun penulis mengapresiasi perjalanan UN sampai saat ini penomenanya masih terus diwacanakan dalam realitas kolektif yang beraneka pendapat. Respon peserta didik, tenaga pendidik, pengamat pendidikan, masyarakat, DPR, MA dan pemerintah sebagai empunya “hajat” masing-masing memiliki argumentasi yang diangapnya paling benar. Membicarakan UN selalu hangat dan ada beberapa kepentingan yang melatar belakanginya, kepentingan idealis realistis dari masing-masing pihak terkait mengemuka dan UN tetap saja berjalan, bermetamorfosis.

Metamorfosis Ujian Nasional
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, perkembangan ujian nasional tersebut, yaitu:
Periode 1965-1971. Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Periode 1972-1979. Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di mana setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum.
Periode 1980-2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “paralel” untuk setiap mata pelajaran, dan penggandaan soal dilakukan di daerah.

Periode 2001-2004
Sejak tahun 2001, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Dalam EBTANAS, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai EBTANAS murni (R), sedangkan kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.

Periode 2005-2010
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.

Periode 2011
Kelulusan UN tahun sebelumnya ditentukan dari nilai UN sendiri, sedangkan kelulusan UN 2011 ditentukan dari nilai gabungan antara nilai rata-rata raport (NR), nilai ujian sekolah (NUS) dan nilai ujian nasional (NUN) dengan ketentuan sebagai berikut :NS = (0,4 x NR) + (0,6 x NUS) , NA = (0,4 x NS) + (0,6 x NUN)Siswa dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol). UN 2011 memperhatikan nilai sekolah sebesar 40%, 60% nilai UN, dengan lima paket soal.

Beberapa perubahan yang terjadi berhubungan dengan uji kemampuan peserta didik merupakan ikhtiar pemerintah dengan segala keterbatasannya dalam merespon perkembangan kemajuan dunia pendidikan . Tantangan global dan potensi nasional SDM harus terus di-up garade dalam orientasi iklim kompetitif dunia, pemerintah menyadari bahwa entitas pendidikanlah yang menjadi penentu. Setiap langkah atau kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah akan dievaluasi dan diuji kebermanfaatannya, termasuk masyarakat secara alamiah akan merespon setiap aplikasi kebijakan pemerintah. Respon masyarakat pengguna pendidikan akan menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya.

Masa Depan Karena Kebijakan Hari Ini
Sebuah kesalahan yang telah dilakukan oleh umat manusia tidak selamanya berdampak langsung atau segera , terkadang dampaknya tertunda dan “meledak” pada masa yang akan datang yakni 20-30 tahun kemudian. Penomena yang paling kita rasakan ketika euphoria reformasi begitu dahsyat pada tahun 2008 menjelang jatuhnya regim Presiden Soeharto. Dahsyatnya energi reformasi tidak muncul instan karena tewasnya beberapa mahasiswa, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap masyarakat pada puluhan tahun sebelumnya menjadi energi yang melatar belakanginnya. Kematian empat mahasiswa hanyalah triger bagi euporia reformasi, selanjutnya berbagai peristiwa yang melekat kuat pada memori kolektif bangsa ini menjadi mesiu besar yang dinyalakan oleh empat mahasiswa pahlawan reformasi.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, rasa nasionalisme dan segala perjuangan yang melibatkan organisasi, baru terbentuk melalui proses yang sangat panjang, Bung Karno menyebutnya 350 tahun Kolonialisme Belanda telah membangunkan “banteng ketatonnya” bangsa Indonesia. Penderitaan panjang dan eksploitasi kemanusiaan mengkristal pada jiwa Bangsa Indonesia menjadi sebuah reaksi kolektif dari Sabang sampai Merauke. Prinsip merdeka atau mati adalah sebuah ungkapan dari emosi bersama dalam merespon kolonialisme, perlawanan adalah reaksi final dari akumulasi penderitaan bertahun-tahun.

Jadi sebuah peristiwa dalam konsep logika sejarah disebabkan oleh peristiwa sebelumnya atau kausalitas sejarah.Sikap bijak bangsa kita harus dieksplorasi demi keberlangsungan NKRI yang kita cintai, karena segala hal yang tidak baik pada hari ini akan berdampak panjang pada masa yang akan datang. Bangsa Indonesia dalam hal ini pemerintah __sebagai birokrasi pelayan masyarakat__ harus menjadi sutradara bijak dalam meng-guide masyarkat untuk lebih maju, mandiri, dinamis, pembelajar, adaptip dan kompetitif dalam menghadapi tantangan zaman.

Dalam esai singkat ini penulis mencoba menanggapi penomena yang sedang terjadi beberapa tahun belakangan ini pada area pendidikan di Indonesia. Sebuah iklim pro kontra yang tidak sehat bertahun-tahun penulis amati terjadi di entitas pendidikan kita baik di tataran makro, meso dan mikro. Iklim pendidikan sedang diuji, terutama berhubungan dengan Ujian Nasional yang terus kontroversial. Ujian Nasional (selanjutnya UN) telah menjadi diskursus sosial dan wacana politik yang tidak sederhana, mengapa demikan karena UN adalah sebuah “ritual” pendidikan yang melibatkan peserta didik dan hampir semua orang tua di negeri ini. Walaupun UN tahun 2011 ada hal baru dari Mendiknas tentang kelulusan yang 40% “melihat” proses di sekolah yakni hasil raport, tapi tetap saja hal ini tak menenggelamkan perhatian masyarakat pada program pemerintah yang dianggapnya tidak populis dan melanggar HAM.

Dua Realitas Yang Berbeda
Apa yang terjadi kemudian dari kebijakan UN oleh pemerintah telah menciptakan dua kutub yang bersebrangan, antara pemerintah dan masyarakat. Terjadi bias dalam masyarakat sehingga kepentingan ideal versi pemerintah menyimpang dari sasarannya. Bagaimana pemerintah begitu yakin tidak ada kebocoran dan manipulasi dalam UN sementara masyarakat mengatakan ada. Ketika Mendiknas Muhammad Nuh mengatakan jangan percaya pada SMS yang menyebarkan kunci jawaban UN karena bisa merugikan, bahkan Gubernur Jawa Brat Ahmad Heryawan mengatakan bohong kalau UN bocor. “UN sudah ada mekanismenya, tidak mungkin bocor," katanya saat meninjau pelaksanaan UN di SMPN 7 Bandung (Pikiran Rakyat, 25 April 2011). Berbeda dengan masyarakat yang mempercayai UN bocor dan SMS yang berkembang memiliki akurasi lebih dari 80%.

UN tahun sebelumnya menurut Koordinator Investigasi Komite Independen Pemantau Ujian Nasional di Jawa Barat Dan Satriyana, untuk mata pelajaran Matematika, Georgrafi, Ekonomi, dan Bahasa Inggris, kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa akurasinya lebih dari 80 persen. Peredaran bocoran jawaban itu selain bentuk nyata kecurangan, juga merugikan siswa lain. Ketika para pejabat pemerintah (birokrat) terkait mengatakan tidak ada rekayasa dan manipulasi dalam UN, sementara banyak masyarakat secara tersembunyi mengetahui adanya manipulasi UN.

Hermanto Rohman (Radar Sukabumi , 20 April 2011) memplesetkan UN menjadi Ujian Nasib (siswa/sekolah), secara gamblang ia menjelaskan tentang tujuan idealis pemerintah dan realitas pragmatis dilapangan, berbanding terbalik dan ada “improvisasi”. Rohman menjelaskan pemerintah tidak bijak memaksakan terus keputusan UN kalau dalam masyarakat terjadi bias makna.Sebuah kondisi yang berbeda antara idealitas pemerintah (diatas) dan realitas masyarakat (dibawah), hal ini memperlihatkan bias yang melebar. Pengurus Besar (PB) PGRI Abduhzen bahwa beberapa pembaruan sistem pelaksanaan UN tingkat SMA tahun ini berpotensi meningkatkan kenakalan sekolah. Menurut analisis dia, pihak sekolah akan mengerjakan lima variasi soal tersebut. Selanjutnya, soal itu di berikan kepada lima siswa yang sudah disiapkan di setiap kelas. Kemudian, lima siswa tersebut menyebarkan kunci jawaban kepada siswa yang satu kode (soalnya sama). Analisis Abduhzen memprediksi biasnya UN dilapangan, sebuah kenyataan yang perlu kita sikapi.

Dua realitas berbeda tersaji dalam area pendidikan kita, versi birokrat (pemerintah) dan versi masyarakat, manakah sebenarnya yang menjadi kebenaran sejati (the real reality). Shadow reality ( realitas yang samar) yang berkembang di masyarakat menginformasikan banyak yang “terlibat” dalam UN dari tahun ke tahun, sejauh mana pemerintah daerah, dinas pendidikan, tim pengawas , satuan pendidikan, kepolisian dan pihak-pihak terkait lainnya bekerja dilapangan, hanya mereka yang mengerti. Faktanya dilapangan terjadi kebocoran kunci jawaban UN, diantaranya kawasan Banda Aceh dan pulau Jawa (Radar Sukabumi, 25 April 2011).

Menanggapi pengaduan kebocoran soal UN , Mendiknas Muhammad Nuh (Media Indonesia, 23 April 2011) mengatakan “ Tim BNSP langsung menyesuaikan temuan dilapangan dengan master soal yang ada, namun setelah disesuaikan ternyata kunci jawaban yang ditemukan itu tidak benar”. Pernyataan ini sangat berbeda dengan Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang diketuai oleh Abdi Muskarya mengungkapkan ada puluhan sekolah baik swasta dan juga negeri yang melakukan pelanggaran, semua datanya ada pada mereka serta tidak mau mempublikasikannya (Tribun Medan, 21 April 2011). Alasan Abdi Muskarya ketua KAMG tidak mau melaporkannya adalah realitas yang terjadi karena korban sistem. Kepala daerah dan kepala sekolah yang curang menurutnya tidak salah, yang salah adalah sistemnya.

Pernyataan Mendiknas Muhammad Nuh tentang tidak ada kebocoran UN gugur sudah karena Kabupaten Pohunto,Provinsi Gorontalo seluruh sekolah harus mengikuti ujian ulang pada tangal 28 April 2011 karena terjadi kebocoran di Sembilan SMA yang ada (Radar Sukabumi, 26 April 2011). Lebih parah lagi enam joki dan Kepala Sekolah SMA PGRI Kedewan, Bojonegoro ditangkap polisi dihari ketiga UN (Suara Pembaruan,28 April 2011). Peristiwa ini memeperlihatkan apa yang dikatakan masyarakat bahwa UN kenyataannya sangat rawan ketidakjujuran, berbanding terbalik dengan pernyataan-pernyataan versi pemerintah. Dapat diprediksi bagaimana UN tahun sebelumnya? Karena pada tahun-tahun sebelumnya UN 100% menentukan kelulusan, sekarang hanya 60%. Logikanya pada UN tahun ini kelulusan akan jauh lebih meningkat karena 40% sekolah ikut menentukan kelulusan. Tetapi kebocoran ternyata tetap sama terjad seperti tahun sebelumnya.

Ada Oknum?
Penulis berharap bila ada manipulasi semoga hanya oknum tertentu yang terlibat dalam manipulasi UN, tidak ada grand design dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dan tidak bertanggung-jawab. Apa yang disampaikan Mendiknas bahwa tidak ada kebocoran di UN 2011 semoga bukan sebuah pernyataan politis yang beraroma pencitraan, tapi dari keterbatasan kemampuan dalam memantau berjalannya UN. Bila sebuah kejahatan dilakukan secara sempurna (the perfect crime) dan itu menjadi sebuah gerakan dari “tim sukses” dari hulu ke hilir maka kesucian dunia pendidikan menjadi ternodai. Penodaan dan konspirasi “cantik” yang terjadi di dunia pendidikan suatu saat akan menenggelamkan kepercayaan publik terhadap dunia pendidikan. Bila dunia pendidikan sudah sulit dipercaya seperti (maaf) lembaga penegak hukum, kepolisian, perpajakan, dan partai politik maka ada sebuah bencana kemanusiaan yang akan terjadi kemudian.

Dunia pendidikan adalah entitas strategis dalam membangun SDM, dari dunia pendidikanlah manusia menjadi lebih manusiawi keberadaannya. Tatkala dunia pendidikan mengalami public distrust (tidak dipercaya masyarakat) berawal dari berbagai gosip dan diskursus “aneh” yang berkembang dimasyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, maka selamat tinggal nama baik dunia pendidikan. Jangan-jangan menggejalanya home sehooling imbas dari pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal di satuan pendidikan. Meminjam istilah Sumbodo Syamsudin (Media Indonesia, 20 April 2011) stigma dan label stereotip berperan terhadap kelangsungan lembaga pendidikan kita. Dunia pendidikan akan semakin beresiko ketika jumlah oknum semakin banyak dan hidup di pendidikan. Oknum birokrat, oknum kepala sekolah, oknum guru, oknum masyarakat dan oknum lain yang “bermain” di dunia pendidikan secara tidak langsung sedang menggiring citra pendidikan pada jurang yang mematikan, bagi masa depan pendidikan Indonesia.

UN di Zaman Edan, Dunia Pendidikan Jadi Panggung Sandiwara?
Edi Sungkowo (Pikiran Rakyat , 24 April 2011) mengadopsi pepatah Pangeran Joyoboyo abad 12 yang menjelaskan zaman edan dengan indikasi; yang tidak ikut gila tidak dapat bagian, para pembohong bersuka ria, orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil, yang tidak dapat mencuri dibenci, yang pintar dan curang jadi teman. Dalam analisa Sungkowo sepertinya berbagai lini kehidupan mulai dirasuki prilaku edan, orang baik dan jujurpun bisa tersedot ke pusaran keeedanan. Bentuk keedanan berbentuk mafia, baik mafia pajak maupun mafia peradilan. Bagaimana objektifitas UN di zaman seperti ini? Semoga tidak terlalu banyak sandiwara dalam UN. Tidak ada mafia dan manifulasi serta politik pencitraan.

Akan lebih miris bila dunia pendidikan kebawa edan, karena harapan perbaikan masyarakat yang edan (istilah Sungkowo) banyak diharapkan dari dunia pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar yang berorientasi mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa supaya berbudi pekerti yang luhur dan melestarikan kebudayaan adiluhung manusia. Pendidikan adalah benteng terakhir sebagai harapan penahan gempuran budaya dan segala hal negatif yang berkembang pada dunia yang semakin mengglobal. Bila dunia pendidikan __meminjam istilah Darmaningtyas, Kompas 4 April 2002__sudah rusak-rusakan, maka area pendidikan sebagai pilar terakhir fungsinya menjadi mandul dan tak ”beranak” kebaikan. Rini Kustini dan Herlambang Jaluardi (Kompas , 28 April 2011) mengilustrasikan pendidikan kita seperti air keruh yang tercemari. Ia mengatakan potret pendidikan sekeruh air yang tercemari. Jangan ada mafia di dunia pindidikan kita, jangan ada sandiwara di dunia pendidikan kita, jangan ada dusta di dunia pendidikan kita dan jangan jadikan pendidikan sebagai korban komoditas politik.

Penulis menerima SMS dari seorang guru di Kabupaten Bandung, isinya mengatakan “sebuah kesalahan yang sudah disepakati dan dikerjakan bersama-sama berubah menjadi sebuah kebenaran tanpa disadari dan dipikirkan apa dampaknya bagi generasi berikutnya, yang penting masalah hari ini beres, nanti ya nanti aja”. Akan jadi apa dan dibawa kemana bangsaini? Inilah mungkin dalam bahasa Erna Tigayanti (Radar Sukabumi, 26 April 2011) dengan prilaku yang melibatkan semua pihak berlomba-lomba menghalalkan segala cara untuk kelulusan UN.

Realitas Terbalik
“Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan, betapa tidak mengherankan, penegak hukum yang mestinya harus menegakan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian fenomena sirkus..” pernyataan ini disampaikan Mendiknas Muh. Nuh pada upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kementrian Pendidikan Nasional (2/5/2010).Bila kita cermati dari pernyataan Muhammad Nuh diatas nampaknya wilayah pendidikan menjadi bagian dari permasalahan, disejajarkan dengan permasalahan penegak hukum dan tradisi feodalis pejabat.

Penyair Taufik Ismail (1998) dalam puisinya menyindir realitas di negeri kita sebagai berikut “ Di negeriku budi pekerti mulia dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam ditumpukan jerami selepas menuai padi. Langit ahlak rubuh, diatas negeriku berserak-serak. Hukum tak tegak, doyong berderak-derak….Malu aku jadi orang Indonesia. Pernyatan Taufik Ismail secara tidak langsung menjelaskan bahwa budi pekerti yang mulia seharusnya ada pada dunia pendidikan kita, pada masyarakat kita, pada birokrat kita bukan hanya tertera pada kitab suci.

Darmaningtyas berargumen terbalik, pendidikan seharusnya mencerdaskan anak bangsa malah mencemaskan anak bangsa, ini terjadi pada UN yang dipaksakan oleh pemerintah. Penulis sepakat dengan Darmaningtyas UN menjadi permasalah serius pada peserta didik kita, UN telah mencederai iklim dunia pendidikan kita. Jakob Sumardjo (Kompas ,22 Januari 2011) menggambarkan realitas sekarang sangat absurditas (unreasonable), negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk penjara melainkan menjadi pahlawan bangsa. Taman makam pahlawan telah menjadi taman makam kriminal, makanya para syahid tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan. Dalam lingkungan yang terbalik seperti ini bagaimana eksistensi dan objektifitas UN? Apakah dalam dunia terbalik versi Jakob Sumardjo UN memiliki integritas, trasparansi dan akuntabilitas publik? Mari kita jawab secara jujur dalam relung hati kita yang paling dalam, sejauh mana UN kita memiliki dampak positif dan negatif pada generasi kita.

Kejujuran atau Kelulusan?
Kejujuran itu realitas karakter sebagai modal dasar manusia yang memiliki hati nurani, sementara kelulusan berhubungan dengan pengetahuan (knowledge). Rusaknya bangsa ini bukan oleh orang-orang jujur, tapi oleh orang-orang pintar dan berpendidikan yang memiliki keunggulan pengetahuan (knowledgenya). Para perusak negeri ini didominasi oleh individu-individu lulusan universitas dan perguruan tinggi, mereka adalah kelompok yang sudah “lulus” dari dunia pendidikan. Mereka sudah melewati ujian berbau akademis sejenis UN, SNMPTN, sidang skrifsi, tesis bahkan disertasi. Semuanya Lulus.

Dalam momen UN yang terpenting kejujuran atau kelulusan? Benarkah dimasyarakat kita kejujuran UN lebih penting daripada kelulusan UN? Pembaca dapat menyimpulkan sediri penting manakah bagi generasi muda memaknai kejujuran atau memuja kelulusan? Apa yang terjadi bila kelulusan yang berhubungan dengan pengetahuan lebih diutamakan dibanding kejujuran yang berhubungan dengan hati nurani? Dalam pepatah bijak tidak ada kata gagal__tidak lulus UN__ yang ada adalah sukses yang tertunda, karena ikhtiar yang belum maksimal. Tidak ada pepatah bijak yang mengatakan kebohongan adalah kejujuran yang tertunda, tidak ada “fatwa” yang mendukung ketidakjujuran.

Penulis tertarik dengan dua pejabat publik yang berbeda pemahaman tentang pentingnya kelulusan UN dan kejujuran UN. Bupati Sragen Untung Wiyono memaksa semua siswa sekolah negeri di Bumi Sukowati harus lulus ujian nasional (UN) 100% pada tahun ini. Bupati meminta tingkat kelulusan UN di Sragen harus peringkat terbaik pertama di Jateng.Saat ditaya wartawan Solo Pos ia mengatakan,”Pada 2009 lalu, persentase kelulusan UN di Sragen nomor satu
se-Jateng. Namun, 2010 memang menurun menjadi peringkat kedua di Jateng. Nah, pada tahun ini Sragen harus kembali mendapat peringkat pertama. Kalau saya dibilang memaksa, ya memang saya paksa,” ujarnya(Solo Pos,18 April 2011).

Berbeda dengan Wiyono , Walikota Solo, Joko Widodo menegaskan tidak akan mentargetkan tingkat kelulusan ujian nasional (UN) bagi siswa di Kota Solo tahun 2011 ini. Walikota menilai kejujuran siswa dalam mengerjakan ujian tersebut lebih utama. Bukan tanpa alasan Walikota tidak mentarget tingkat kelulusan siswa yang mengikuti UN tahun ini. Sebab menurut Walikota, apabila pihaknya menetapkan target tertentu dikhawatirkan justru akan menekan pihak Dinas Pendidikan, sekolah, orangtua, maupun siswa itu sendiri untuk berbuat tidak jujur demi bisa lulus dan memenuhi target. “Saya tidak akan mentargetkan tingkat kelulusan UN. Apa adanya saja. Berapapun yang berhasil lulus, ataupun yang ternyata belum bisa lulus dalam ujian tersebut, tidak menjadi masalah untuk saya. Biar saja kalau misalnya daerah lainnya bisa memperoleh tingkat kelulusan lebih tinggi dibanding Solo, tapi bagi saya yang penting siswa-siswa tersebut bisa mengerjakan dengan lancar dan jujur,” ujar Walikota saat dimintai tanggapan seputar pelaksanaan UN tahun 2011. Penulis apresitaif terhadap pernyataan Joko Widodo, secara tidak langsung ia menjelaskan pemerintahannya tidak memuja kelulusan UN tetapi lebih mengedepankan kejujuran UN.

Tujuan Positif UN
Setiap melangkah pasti ada yang terinjak, begitupun dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada hal positif ada hal negatif. Mari kita lihat sejauh mana kemungkinan pengaruh UN terhadap masyarakat kita, terutama peserta didik sebagai objek langsung. Apabila UN berjalan jujur dan kredibel __seperti yang selalu digemborkan__maka ada positifnya diantaranya adalah; 1) Mengukur sejauh mana daya serap peserta didik dan kompetensinya dalam setiap materi yang di UN-kan.2) Mengukur kelulusan sekaligus digunakan sebagai standar pendidikan secara nasional dan memetakan proses penyelenggaraan pendidikan di seluruh daerah.3)Pemerintah memiliki data kuantitatif peserta didik.

Dampak UN yang Tidak Jujur
Muhibuddin pengamat pendidikan Universias Negeri Malang : tragedi kecurangan UN sejatinya sama bahayanya dengan cukong-cukong makelar kasus di lembaga penegak hukum yang leluasa mengatur kemana hukum bermuara, bukan tidak mungkin buntut tragedi kecurangan UN bisa memudarkan kepecayaan publik terhadap lembaga pendidikan, persis seperti pudarnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. UN telah mencederai “kesucian” institusi pendidikan sebagai lembaga formal pembentuk generasi cerdas dan berbudi pekerti yang luhur, sebuah petaka besar.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan investasi masa depan. Buahnya baru bisa dipetik dalam kurun waktu antara 15 hingga 25 tahun mendatang. Kalau sejak dini anak-anak masa depan negeri ini sudah “diracuni” strategi potong kompas dalam meraih sukses semu, jangan salahkan mereka kelak kalau menjadi generasi bebal yang miskin nurani, menjadi pewaris semangat Machiavelli yang menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan, bahkan bukan mustahil kelak mereka akan menjadi generasi yang mau menang sendiri dengan menerapkan strategi ilmu permalingan yang tega menjual nilai kebenaran dan kejujuran demi memenangkan ambisi dan keserakahan.
Bila kita lihat dari penjelasan diatas maka dikhwatirkan Indonesia kedepan akan banyak melahirkan generasi Gayus Gayus baru yang lahir dari mental terabas, instan, absurditas, Machiavellistik, kognitifistik , diabolik, hipokrit dan abai terhadap proses. Generasi yang abai dan apatis terhadap segala kejujuran dan alergi terhadap proses akan menggiring pada estapetsi generasi bangsa yang gagal. Generasi bermasalah (chaos generation) dilahirkan dari proses yang bermasalah, ia menganggap segala hal yang salah adalah benar karena dilakukan secara bersama-sama dan diwariskan.

Anak adalah peniru ulung. Generasi muda adalah sosok identifikator, imitator, dan aktor masa depan. Bila ketidakjujuran itu direkam dan dilakukan oleh mereka sejak dini (SD,SMP, SMA), maka pada usia produktifnya ia memiliki peluang besar untuk melakukan ketidakjujuran jauh lebih ekstrim. Tidak ada negara dan bangsa yang maju dan menentukan peradaban dunia dengan ketidakjujuran. Penomena ketidakjujuran UN yang dilakukan secara kolektif akan menghantarkan bangsa Indonesia bukan pada gerbang “kemerdekaan”, tapi pada gerbang kemunduran peradaban. Penulis tersentuh dengan sindiran Taufik Ismail yang mengatakan kita negara mayoritas beragama, tapi budi pekerti yan mulia hanya ada dalam kitab suci.

Kitab suci mengajarkan ahlak yang baik, bila kitab suci diabaikan hanya ada di rak buku maka kebermanfaatannya tidak membumi, inilah tanda-tanda mundurnya sebuah bangsa. Tanda-tanda kemuduran suatu bangsa menurut Prof. Thomas Lickona dari Cortland University diantaranya adalah ketika ketidakjujuran terjadi dimana-mana. Lickona menyarankan kita untuk mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). Seandainya UN menyebabkan ketidakjujuran dimana-mana, berarti ini tanda-tanda suatu bangsa sedang menuju kemunduran menurut tesis Lickona.

Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.

Pengamat pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Said Hamid Hasan berpendapat sebaiknya UN tidak ditujukan untuk menentukan kelulusan. Selajutnya ia mengkritisi realitas dunia pendidikan dengan mengatakan "Adanya bimbel dan latihan-latihan di sekolah tiga bulan menjelang UN menggambarkan anak tidak lagi dalam konsep pendidikan, tapi dalam proses belajar untuk ujian dan merupakan gejala yang tidak baik," kata Said.
Menurutnya, kondisi tersebut adalah bahaya besar jika pemerintah tetap melanjutkan proses pendidikan seperti ini.

Saran
Alangkah bijaknya pemerintah bila menjadikan UN sebagai data kuantitatif saja sebagai acuan standarisasi kemampuan peserta didik dalam menyerap materi pelajaran secara nasional, tetapi tidak menjadi penentu kelulusan peserta didik. Manajemen internal dan otonomisasi satuan pendidikan lebih mengetahui dan menyentuh langsung semua peserta didik, maka kelulusan adalah momen sakral sebuah satuan pendidikan sebagai “vonis” objektif tentang kemajuan dan kemampuan peserta didik selama belajar di satuan pendidikan. Ketika kelulusan dominan ditentukan oleh pusat, maka menurut penulis ini adalah pelanggaran HAM dan “KDRT” dalam rumah tangga dunia pendidikan. Arogansi pemerintah dalam UN telah membuat apatisme dan lunturnya idealisme tenaga pendidik dalam penyelengaraan proses pendidikan di Indonesia.

Peserta didik stres, puluhan orang tua peserta didik masuk rumah sakit jiwa (Media Indonesia, 21 April 2011), menyebar fitnah di dunia pendidikan, Kepala Sekolah, guru, Kepala Dinas, Pemda menjadi serba salah dan menjadi korban sistem. Menurut penulis alangkah bijaknya bila UN dipertimbangkan untuk ditiadakan, ganti dengan istilah baru yang tidak mencerabut autoritas kelulusan dari satuan pendidikan. Kalupun UN masih tetap ada, coba tengok sebuah negara yang dianggap memiliki pendidikan terbaik di dunia yakni Finlandia, di negara ini tetap ada Ujian Nasional (UN). Tapi perhatikan pendapat Leo Pahkin, konselor pendidikan dari badan Pendidikan Nasional Finlandia, ia mengatakan "Untuk mengevaluasi sistem pendidikannya, Pemerintah Finlandia menggelar UN, namun UN ini tidak diikuti oleh semua siswa dan tidak untuk semua mata pelajaran setiap tahunnya. ’Kami mengambil secara acak siswa yang mengikuti UN. Hasilnya hanya kami gunakan untuk mengevaluasi sistem pendidikan kami, bukan untuk menentukan kelulusan. Soal penilaian atau kelulusan itu urusan sekolah," katanya. Dibanding Finlandia betapa primitifnya kita yang masih mati-matian menggelar UN?

Selama ada nama dan istilah UN, maka ada catatan traumatik amoralistik kolektif pada peserta didik dalam sejarah pendidikan kita. Solusi termudah pemerintah sebaiknya mempelajari pada periode EBTANAS, kecurangan dan ketidakjujuran walaupun dimungkinkan masih ada tapi minimalis dan manusiawi. Stop UN, stop demoralisasi di dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar